Surat Kaleng dan Opera Kaleng-Kaleng

Redaksi Bara News

- Redaksi

Sabtu, 1 November 2025 - 22:41 WIB

50111 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penulis : Fadhli Irman, Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala (Gerpala)

Surat itu datang tanpa nama, tanpa alamat, tanpa tanggung jawab. Dikirim ke Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Aceh Selatan, bukan ke dinas, bukan ke lembaga pengawas. Isinya katanya berupa dugaan pelanggaran dalam rekrutmen tenaga honorer Dinas Pendidikan. Di atas kertas, tampak seperti ekspresi kepedulian rakyat terhadap praktik yang tak adil. Tapi di balik amplop yang tak bertuan itu, aroma permainan lebih kencang daripada semangat kebenaran.
Sebab surat itu bukan hanya anonim, tapi juga salah alamat. Pers bukan lembaga penyidik. Wartawan tidak berwenang menilai kelulusan pegawai. Tapi di negeri yang gemar menjadikan isu sebagai tontonan, kebenaran sering dikelola seperti panggung sandiwara. Dan dalam drama macam ini, surat kaleng adalah properti murahan yang dipakai untuk menciptakan ketegangan, menarik perhatian, dan menggiring opini publik.

Ada yang menyebut surat kaleng itu datang dari “masyarakat peduli”. Tapi bukankah kita sudah terlalu sering menyaksikan “masyarakat” yang tak pernah muncul di dunia nyata? Mungkin, surat itu justru dibuat oleh tangan-tangan di balik layar, oleh mereka yang ingin tampil sebagai korban, padahal sedang menulis naskah lakon sendiri. Sebuah teknik komunikasi klasik yang menciptakan musuh semu untuk memantulkan citra heroik diri.
Boleh jadi dan tak menutup kemungkinan, kerap pula pengirim dan penerima surat itu adalah satu panggung, satu produksi. Yang satu menulis, yang lain berpura-pura terkejut. Dan publik, seperti biasa, diajak menjadi penonton.

Ketakutan yang Berbunyi Nyaring
menampar kesadaran kita dengan kalimat sederhana tapi telak yakni “Surat kaleng itu seperti pemain kaleng-kaleng yang ramai bunyinya, tapi isinya kosong.” Kalimat itu bukan sekadar metafora. Ia diagnosis atas penyakit sosial yang makin parah dimana terlalu berisik, tapi enggan bertanggung jawab atas kebisingan yang dibuat.
Fenomena surat kaleng sesungguhnya lebih dari sekadar masalah etika komunikasi. Ia adalah cermin dari masyarakat yang kehilangan keberanian. Keberanian untuk bicara di ruang terang, untuk mengakui identitas, untuk mempertaruhkan nama demi kebenaran. Kita hidup di zaman ketika orang lebih memilih anonim daripada berisiko. Kritik disampaikan dengan samaran, protes diungkap lewat akun palsu, pengaduan dikirim tanpa tanda tangan.

Dan ketika surat tanpa nama justru dikirim ke media, bukan ke lembaga resmi, persoalannya berubah menjadi lebih serius. Ini bukan lagi sekadar keluhan rakyat, tapi indikasi permainan persepsi. Di tangan yang lihai, isu bisa dibentuk, opini bisa dijual, dan kebenaran bisa disetir sesuai arah kamera.

Media, tentu, bukan tempat sampah bagi gosip. Tapi di banyak tempat, ia kerap digoda oleh sensasi. Ketika sebuah surat tanpa identitas masuk, redaksi dihadapkan pada dilema yakni antara prinsip verifikasi dan godaan klik. Dalam konteks Aceh Selatan, PWI atau organisasi wartawan lainnya patut diapresiasi karena memilih tidak ikut dalam arus itu. Menolak mempublikasikan surat tanpa nama bukan berarti menutup mata terhadap dugaan pelanggaran, tapi menjaga akal sehat publik agar tidak dibajak oleh kabar yang tak bisa diuji.
Namun media saja tidak cukup. Pemerintah daerah pun mesti berbenah. Keengganan warga menggunakan kanal pelaporan resmi menunjukkan dua hal yaitu pertama, kepercayaan terhadap institusi masih rapuh; kedua, masyarakat lebih percaya pada gosip ketimbang prosedur.

Ketika saluran formal dianggap buntu, publik beralih pada jalan tikus berupa surat kaleng, pesan anonim, akun bayangan. Padahal, dengan cara itu, kebenaran justru makin jauh. Karena dalam ruang gelap, suara siapa pun bisa terdengar benar, tergantung siapa yang lebih dulu menyalakan lampu.

Moral yang Tertinggal
Dalam falsafah Aceh dikenal ungkapan “hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut” yaitu hukum dan adat mesti menyatu seperti zat dan sifat. Artinya, kebenaran tidak boleh dipisahkan dari etika. Tapi surat kaleng lahir justru dari ketakutan, bukan keberanian. Dari kepentingan, bukan nurani. Ia adalah potret kecil dari kemerosotan moral publik, ketika orang ingin perubahan tapi takut mengaku, ingin bersuara tapi tak mau menanggung gema suaranya sendiri.

Dalam tataran sosial, surat kaleng adalah versi kertas dari budaya fitnah digital. Ia analogi dari akun palsu di media sosial, yang sama-sama nyaring, sama-sama pengecut. Ia mungkin tampak sepele, tapi dampaknya besar yakni mengaburkan batas antara kritik dan hasutan, antara kepedulian dan kepentingan.

Laporan tanpa identitas bukan jalan perbaikan, melainkan jalan pintas menuju kekacauan. Karena pemerintahan yang baik tak bisa dibangun di atas gosip, melainkan atas kejujuran dan mekanisme yang bisa diuji.

Pemerintah harus memperkuat sistem pengaduan yang terbuka dan terpercaya. Jika warga yakin laporannya ditangani dengan adil, mereka tak akan lagi bersembunyi di balik surat kaleng. Dan masyarakat, terutama generasi muda, harus berani menanggalkan topeng anonim. Kritik sejati tak pernah butuh samaran, ia tumbuh dari keberanian moral dan integritas diri.

Surat kaleng selalu lahir di masa ketika kebenaran kehilangan panggung. Tapi selama masih ada orang yang berani menulis namanya di bawah pernyataan, masih ada harapan bahwa negeri ini belum sepenuhnya tenggelam dalam kebohongan yang sopan.
Karena sejatinya, bangsa ini tidak kekurangan suara. Yang kurang hanyalah keberanian untuk menanggung gema dari suara itu sendiri.

Dan sampai hari itu tiba, mungkin surat kaleng akan terus berdatangan, dikirim oleh pemain kaleng-kaleng, dipentaskan dalam opera kaleng-kaleng, dan ditonton oleh publik yang masih belajar membedakan antara kritik dan sandiwara.

Berita Terkait

Perut Geureutee dan Rahasia yang Terkubur di Balik Terowongan
Kedaulatan yang Direklamasi dan Rel Kereta yang Mengarah ke Utara
Wabup Nagan Raya Lepas 95 Kafilah MTQ ke-37 ke Pidie Jaya, Target Masuk Lima Besar
Sambut HUT Ke-80 Korps Brimob Polri Gelar Donor Darah.
Camat Seunagan Timur Said Mudhar Menghadiri Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Yang Digelar Oleh RAPI Nagan Raya
Brimob Polda Aceh Lestarikan Nilai Kepahlawanan Lewat Ziarah dan Bhakti Sosial di Makam Teuku Umar
Sapu Bersih atau Sapu Pilih? Menakar Janji Kejaksaan dalam Era Politik Anti-Korupsi
Semangat Hari Sumpah Pemuda: Komandan Batalyon C Pelopor Peringati Maulid Nabi di Tanah Kelahiran

Berita Terkait

Minggu, 2 November 2025 - 00:14 WIB

Pelantikan Dewan Hakim MTQ Aceh ke-37 Berlangsung Khidmat di Pidie Jaya

Minggu, 2 November 2025 - 00:12 WIB

Meriah dan Penuh Semangat, Pawai Ta’aruf MTQ Aceh XXXVII Warnai Kota Meureudu

Minggu, 2 November 2025 - 00:09 WIB

Pemkab Pidie Jaya Siagakan Layanan Emergency Call Selama MTQ Aceh XXXVII

Sabtu, 1 November 2025 - 23:49 WIB

Wakil Bupati Gayo Lues Kunjungi Kafilah MTQ di Pidie Jaya, Ajak Tampilkan yang Terbaik

Sabtu, 1 November 2025 - 15:00 WIB

Kafilah Bener Meriah Ikuti Pawai Ta’aruf MTQ ke-37 Provinsi Aceh di Pidie Jaya

Jumat, 31 Oktober 2025 - 23:41 WIB

Kafilah Gayo Lues Tiba di Pidie Jaya, Disambut Adat Peusejuk dan Siap Berlaga di MTQ Tingkat Provinsi

Jumat, 31 Oktober 2025 - 16:34 WIB

Bupati Pidie Jaya Tanggapi Insiden Wakil Bupati dan Kepala SPPG, Dorong Penyelesaian Damai dan Bermartabat

Kamis, 30 Oktober 2025 - 22:51 WIB

Bahagia Desak Penegakan Hukum Atas Dugaan Pemukulan oleh Wakil Bupati Pidie Jaya

Berita Terbaru