Kupang — Kasus kematian tragis Prada Lucky Namo kembali berlanjut di Pengadilan Militer III-15 Kupang dengan menghadirkan empat terdakwa baru. Proses hukum ini menyedot perhatian publik luas dan terus menjadi sorotan karena menyingkap praktik kekerasan dan perundungan di lingkungan militer yang selama ini kerap tersembunyi dari pantauan publik.
Keempat terdakwa yang diadili dalam sidang terbaru ini adalah Ahmad Ahda Emeliano De Araujo, Petrus Nong, Brian Semi, dan Aprianto Rede Radja. Nama-nama tersebut masuk dalam berkas perkara ketiga bernomor 42-K/PM.III-15/AD/X/2025. Mereka diduga terlibat langsung maupun tidak langsung dalam tindak kekerasan yang menyebabkan Prajurit Dua (Prada) Lucky meninggal dunia saat masih dalam masa tugas di satuan TNI Angkatan Darat.
Sidang dipimpin oleh Majelis Hakim yang diketuai Mayor Chk Subiyatno, S.H., M.H., dibantu dua hakim anggota: Kapten Chk Dennis Carol Napitupulu, S.E., S.H., M.M. dan Kapten Chk Zainal Arifin Anang Yulianto, S.H., M.H. Letnan Kolonel Chk Yusdharto, S.H. bertindak sebagai Oditur Militer, sementara Letnan Dua Chk I Nyoman Dharma Setyawan, S.H. menjabat sebagai panitera. Agenda persidangan pada tahap ini meliputi pembacaan dakwaan dan pemeriksaan awal terhadap keempat terdakwa.
Jalur proses hukum yang ditempuh oleh Pengadilan Militer III-15 Kupang terdiri dari tiga berkas berbeda, mengingat jumlah total terdakwa mencapai 22 prajurit. Dalam dua sidang sebelumnya, telah diperiksa masing-masing satu berkas. Berkas pertama, dengan terdakwa Lettu Ahmad Faisal—yang adalah atasan langsung Prada Lucky dan menjabat sebagai Komandan Kompi Panser A—disidangkan dengan menghadirkan enam saksi, termasuk kedua orang tua almarhum dan satu rekannya sesama prajurit. Sementara dalam berkas kedua, 17 orang terdakwa diperiksa terkait dugaan penganiayaan bersama-sama terhadap korban.
Keluarga Prada Lucky memberikan kesaksian yang mengguncang ruang sidang. Dalam salah satu sidang sebelumnya, ibunda korban menyampaikan bahwa putranya sempat menceritakan tindak perundungan dan tekanan psikologis yang dialaminya, termasuk upaya paksa dari atasan untuk membuatnya mengaku memiliki orientasi seksual tertentu. Saat jasad Prada Lucky dikembalikan ke keluarga, orang tua korban menemukan berbagai luka fisik yang tak wajar pada tubuh anak mereka, seperti memar, lebam, dan luka sayat, yang membuka dugaan bahwa ia menjadi korban penganiayaan sistematis selama bertugas.
Tidak hanya itu, ayah Prada Lucky juga mengaku sempat ditipu oleh salah satu pelaku, yang awalnya menyampaikan bahwa anaknya hanya mengalami kelelahan ringan. Namun beberapa jam kemudian, pihak keluarga mendapat kabar bahwa Prada Lucky telah tiada. Fakta bertolak belakang yang diterima keluarga itulah yang memicu kecurigaan dan mendorong mereka untuk menempuh jalur hukum, termasuk menuntut otopsi ulang yang kemudian mengungkap kebenaran pahit di balik kematian sang anak.
Sejumlah organisasi seperti lembaga bantuan hukum dan pemantau hak asasi manusia turut menyuarakan dorongan agar persidangan ini dilaksanakan secara transparan dan adil. Mereka juga menilai kasus ini mencerminkan urgensi pembenahan budaya internal dalam dunia militer, terutama dalam hal perlindungan terhadap prajurit muda yang baru bergabung dalam kesatuan.
Proses hukum yang tengah berjalan saat ini tidak hanya akan menentukan nasib hukum para terdakwa, tetapi juga menjadi cerminan sejauh mana institusi peradilan militer dapat berlaku objektif dan humanis dalam menghadapi pelanggaran serius seperti penganiayaan yang merenggut nyawa.
Setelah seluruh berkas diperiksa, tahapan berikutnya adalah penyampaian tuntutan dari pihak oditurat dan pembelaan dari masing-masing kuasa hukum terdakwa. Proses ini dijadwalkan berlangsung dalam waktu dekat dan diharapkan dapat memberikan keputusan kolektif yang menunjukkan keberpihakan pada keadilan serta perlindungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam lingkungan militer.
Kematian Prada Lucky menjadi momen penting dalam sejarah peradilan militer tanah air. Kasus ini membuka tabir kekerasan yang selama ini diselimuti solidaritas semu dalam hirarki militer. Publik kini menanti dengan cermat bagaimana keadilan ditegakkan—bukan hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban atas satu nyawa yang hilang, tetapi juga sebagai tonggak perbaikan institusional ke depan. (*)















































