BANDA ACEH | Upaya menjaga ketertiban umum dan kenyamanan masyarakat terus dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP dan WH) Aceh melalui operasi penertiban terhadap gelandangan dan pengemis (gepeng) yang marak beraktivitas di ruang-ruang publik Kota Banda Aceh. Pada Kamis sore, 9 Oktober 2025, petugas kembali menggelar razia gabungan di sejumlah titik strategis, seperti area persimpangan lampu merah, kawasan pertokoan, serta pusat-pusat keramaian lainnya yang kerap menjadi lokasi aktivitas mengemis.
Operasi ini dilaksanakan sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk menegakkan ketertiban umum dan mengurangi praktik mengemis, terutama yang melibatkan kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia. Keberadaan gepeng di jalanan tidak hanya menimbulkan kesan kumuh, tetapi juga dinilai mengganggu keselamatan pengguna jalan serta menciptakan kerentanan sosial baru di tengah masyarakat. Aparat penegak perda bertindak secara persuasif dalam menjaring para gepeng yang teridentifikasi melakukan aktivitas di lokasi-lokasi terlarang.
Dinas Sosial Aceh turut mengambil peran aktif dalam kegiatan ini melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Panti Sosial Tuna Sosial (UPTD PSTS). Kepala UPTD PSTS Dinas Sosial Aceh, Azizah, S.Pd., M.Pd., telah menugaskan langsung jajaran pelaksana teknis untuk memberikan penanganan cepat dan terukur terhadap para gepeng yang dijaring Satpol PP dan WH. Adapun tim yang diturunkan di antaranya adalah Kepala Seksi Pelayanan Dasar, Reza Fauzan, S.E., M.Si., Ak., C.A., dan Pekerja Sosial Chairunnisa, S.ST., yang bertanggung jawab melakukan asesmen awal terhadap kondisi sosial para calon warga binaan.
Seluruh individu yang terjaring dalam kegiatan tersebut untuk sementara ditempatkan di Rumah Singgah milik Dinas Sosial Kota Banda Aceh, sebelum dilakukan proses lanjut. Azizah menegaskan bahwa pendekatan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Aceh bukan sekadar tindakan penampungan, melainkan menyeluruh dan berbasis asesmen guna memastikan penanganan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap individu.
“Setiap orang yang terjaring tidak langsung kami tempatkan di panti. Sebelum itu, kami lakukan asesmen terlebih dahulu untuk mengevaluasi kondisi sosial, ekonomi, serta psikologis mereka. Hal ini sangat penting demi menentukan apakah mereka membutuhkan layanan rehabilitasi, pemberdayaan ekonomi, atau upaya reunifikasi dengan keluarga,” ungkapnya.
Dirinya juga menekankan bahwa pendekatan manusiawi menjadi prinsip utama dalam setiap intervensi sosial yang dilakukan. Menurutnya, banyak dari para gepeng tersebut yang berasal dari latar belakang sosial yang berat, termasuk korban kekerasan, keterlantaran, hingga ketidakmampuan ekonomi. Oleh sebab itu, orientasi pelayanan sosial tidak boleh berhenti pada penindakan semata, tetapi harus dilanjutkan dengan proses pemulihan dan penguatan kapasitas sosial.
Kerja sama lintas sektor antara Satpol PP dan WH Aceh dengan Dinas Sosial Aceh dinilai sebagai langkah strategis dalam menjawab persoalan gepeng di perkotaan secara komprehensif. Kolaborasi ini tidak hanya meningkatkan efektivitas penertiban di lapangan, tetapi juga memastikan bahwa penanganan sosial terhadap para gepeng berjalan dalam koridor hak asasi dan keadilan sosial. Pemerintah berharap melalui kegiatan ini dapat tercipta lingkungan kota yang lebih tertib, manusiawi, dan bebas dari praktik eksploitasi terselubung yang kerap menimpa kelompok rentan.
Dinas Sosial Aceh menyebutkan bahwa pelaksanaan operasi seperti ini akan terus dilakukan secara berkala, disertai dengan pendekatan penguatan data dan pola intervensi berbasis kebutuhan. Dengan demikian, output kegiatan penertiban tidak hanya sekadar tercapainya ruang publik yang bersih dari gepeng, tetapi juga mendorong transformasi sosial yang berkelanjutan. Langkah-langkah reintegrasi sosial dan rehabilitasi ke depan akan menjadi prioritas agar para gepeng dapat terbebas dari siklus jalanan dan hidup dengan lebih bermartabat. (RED)














































