Perut Geureutee dan Rahasia yang Terkubur di Balik Terowongan

Redaksi Bara News

- Redaksi

Sabtu, 1 November 2025 - 22:40 WIB

50113 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penulis : Delky Nofrizal Qutni (Wakil Ketua DPW APRI Aceh, Pemuda Barat Selatan Aceh)

Di jalan berliku antara Banda Aceh dan Calang, Gunung Geureutee berdiri bagai penjaga tua yang menyimpan kisah panjang tentang keterisolasian, kecelakaan, dan harapan pembangunan. Kini, di bawah rindangnya pepohonan dan cadas purba, sebuah wacana besar kembali mencuat yaitu pembangunan Terowongan Geureutee, proyek ambisius yang disebut-sebut akan memangkas jarak tempuh hingga 40 persen dan membuka simpul ekonomi bagi delapan kabupaten/kota di Barat Selatan Aceh.

Wacana itu, yang kembali mencuat setelah langkah politik dan diplomasi publik dilakukan oleh Muzakir Manaf atau Mualem, disambut dengan gegap gempita. Sebagian masyarakat menyebutnya sebagai tonggak sejarah, simbol kebangkitan konektivitas Aceh pasca MoU Helsinki. Namun di balik euforia tersebut, tersimpan pertanyaan yang lebih dalam, apakah pembangunan ini murni demi rakyat, atau ada kekayaan lain yang hendak digali dari perut bumi Geureutee?

*Di Balik Batuan, Ada Narasi Mineral dan Kuasa*

Menurut Detail Engineering Design (DED) Dinas PUPR Aceh, proyek ini akan menembus tiga titik utama yakni Gunung Paro sepanjang 1.135 meter, Gunung Kulu 1.638 meter, dan Geureutee 2.805 meter, sehingga totalnya bisa mencapai sekitar 4 kilometer terowongan. Jika diasumsikan diameter rata-rata 12 meter dengan ketinggian efektif 10 meter, maka volume material yang akan dikeluarkan dari perut gunung itu mencapai sekitar 480.000 meter kubik, setara dengan hampir 1 juta ton batuan. Dalam konteks geologi, ini bukan sekadar galian infrastruktur, tapi ini adalah penyingkapan perut bumi dalam skala raksasa.

Gunung Geureutee bukanlah kawasan sembarangan. Berdasarkan peta geologi Lembar Banda Aceh (Pusat Survei Geologi, 2011), zona ini tersusun atas formasi batuan vulkanik Tersier yang kaya akan alterasi hidrotermal, jenis batuan yang di banyak wilayah Indonesia menjadi indikator keberadaan logam mulia seperti emas, tembaga, dan bahkan logam tanah jarang (rare earth elements). Beberapa batuan di sekitar wilayah ini, menurut catatan lapangan geologis Universitas Syiah Kuala (2017), menunjukkan ciri mineralisasi kuarsa dan kalsit, fenomena umum pada sistem hidrotermal yang pernah mengandung fluida logam.

Apakah di perut Geureutee tersimpan emas, palladium, atau bahkan thorium? Tidak ada yang tahu pasti, sebab belum ada publikasi resmi eksplorasi mineral di kawasan tersebut. Namun, jika asumsi geologinya benar, maka nilai material yang akan “tergali” dari proyek ini bisa melampaui nilai proyek itu sendiri. Dalam studi oleh Kementerian ESDM (2020), kandungan rata-rata emas aluvial di batuan alterasi Aceh mencapai 2-5 gram per ton. Jika angka konservatif 1 gram per ton saja dipakai, maka potensi logam mulia yang ikut terangkat dari 1 juta ton batuan itu mencapai 1 ton emas atau setara lebih dari Rp1,3 triliun dengan harga emas saat ini. Itu baru dari sisi satu logam mulia, belum termasuk mineral industri lain seperti feldspar, kuarsa, atau batuan mulia bernilai tinggi. Apalagi jika terdapat mineral mahal misalkan rodium, mineral radioaktif seperti thorium, uranium atau logam tanah jarang, maka nilainya pasti lebih fantastis dan bisa jadi jauh lebih besar dari pagu anggaran proyek itu sendiri.

Maka, pembangunan terowongan ini, secara geologis, tak bisa dilepaskan dari geopolitik mineral bagaimana sebuah proyek infrastruktur strategis bisa sekaligus membuka pintu ke potensi kekayaan alam baru yang menggiurkan. Bila tidak dikelola dengan transparan, proyek ini berpotensi menjadi celah ekonomi baru bagi kelompok rente, sebuah pola klasik dimana proyek publik menjadi bungkus rapi bagi eksploitasi sumber daya tersembunyi.

*Pembangunan dan Filsafat “Tanah Seumeugot”*

Bagi masyarakat Aceh, gunung bukan sekadar tumpukan batu. Ia adalah bagian dari tanoh seumeugot, tanah yang memberi hidup dan memelihara keseimbangan alam. Dalam falsafah lama Aceh, bumi dan gunung dipandang memiliki ruh dan kehormatan. Maka, menggali perut gunung tanpa niat suci dan tata kelola yang benar bukan hanya soal teknis, tapi juga soal moral dan spiritual.

Pembangunan terowongan memang menjanjikan perubahan besar yakni mempercepat arus logistik, membuka isolasi, dan menekan angka kecelakaan yang selama ini kerap menghantui jalur ekstrem Geureutee. Namun setiap kilometer beton yang menembus cadas harus juga menembus mentalitas lama pembangunan yang hanya berhenti pada proyek. Harus ada audit lingkungan dan mineral yang terbuka untuk publik, sebab dari situ nasib gunung dan rakyat ditentukan.

Di masa lalu, Aceh sudah terlalu sering kehilangan dimana hutan ditebang, batuan dikupas, dan tambang rakyat dituduh liar sementara izin besar justru melenggang tanpa pengawasan. Jangan sampai proyek Geureutee menjadi babak baru dari ironi yang sama, dimana rakyat hanya dapat jalan, sementara mineralnya raib entah ke mana.

Mualem telah membuka pintu lobi besar di tingkat nasional. Tapi tugas berikutnya jauh lebih berat yakni memastikan bahwa setiap batu yang digali, setiap truk yang melintas, setiap rupiah yang keluar dari APBN, benar-benar memberi manfaat bagi rakyat Aceh. Terowongan ini tak boleh menjadi liang kubur bagi transparansi, melainkan jembatan menuju keadilan mineral dan pembangunan yang bermartabat.

Sejarah mencatat, pembangunan besar tanpa kejujuran hanya meninggalkan lubang baik secara fisik dan moral. Maka, sebelum alat bor pertama menembus perut Geureutee, pemerintah Aceh perlu menyiapkan mekanisme keterbukaan data geologi, audit material, serta pelibatan akademisi dan masyarakat sipil. Hanya dengan cara itu, proyek ini bisa menjadi simbol kemajuan, bukan simbol kerakusan.

Terowongan Geureutee mestinya bukan sekadar lorong menuju seberang gunung, tapi lorong menuju kesadaran baru, bahwa setiap pembangunan harus menggali masa depan, bukan hanya bumi.

Berita Terkait

Surat Kaleng dan Opera Kaleng-Kaleng
Kedaulatan yang Direklamasi dan Rel Kereta yang Mengarah ke Utara
Wabup Nagan Raya Lepas 95 Kafilah MTQ ke-37 ke Pidie Jaya, Target Masuk Lima Besar
Sambut HUT Ke-80 Korps Brimob Polri Gelar Donor Darah.
Camat Seunagan Timur Said Mudhar Menghadiri Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Yang Digelar Oleh RAPI Nagan Raya
Brimob Polda Aceh Lestarikan Nilai Kepahlawanan Lewat Ziarah dan Bhakti Sosial di Makam Teuku Umar
Sapu Bersih atau Sapu Pilih? Menakar Janji Kejaksaan dalam Era Politik Anti-Korupsi
Semangat Hari Sumpah Pemuda: Komandan Batalyon C Pelopor Peringati Maulid Nabi di Tanah Kelahiran

Berita Terkait

Minggu, 2 November 2025 - 00:14 WIB

Pelantikan Dewan Hakim MTQ Aceh ke-37 Berlangsung Khidmat di Pidie Jaya

Minggu, 2 November 2025 - 00:12 WIB

Meriah dan Penuh Semangat, Pawai Ta’aruf MTQ Aceh XXXVII Warnai Kota Meureudu

Minggu, 2 November 2025 - 00:09 WIB

Pemkab Pidie Jaya Siagakan Layanan Emergency Call Selama MTQ Aceh XXXVII

Sabtu, 1 November 2025 - 23:49 WIB

Wakil Bupati Gayo Lues Kunjungi Kafilah MTQ di Pidie Jaya, Ajak Tampilkan yang Terbaik

Sabtu, 1 November 2025 - 15:00 WIB

Kafilah Bener Meriah Ikuti Pawai Ta’aruf MTQ ke-37 Provinsi Aceh di Pidie Jaya

Jumat, 31 Oktober 2025 - 23:41 WIB

Kafilah Gayo Lues Tiba di Pidie Jaya, Disambut Adat Peusejuk dan Siap Berlaga di MTQ Tingkat Provinsi

Jumat, 31 Oktober 2025 - 16:34 WIB

Bupati Pidie Jaya Tanggapi Insiden Wakil Bupati dan Kepala SPPG, Dorong Penyelesaian Damai dan Bermartabat

Kamis, 30 Oktober 2025 - 22:51 WIB

Bahagia Desak Penegakan Hukum Atas Dugaan Pemukulan oleh Wakil Bupati Pidie Jaya

Berita Terbaru