BANDA ACEH — Desakan terhadap pemerintah daerah untuk meninjau ulang izin Hak Guna Usaha (HGU) semakin menguat. Kali ini, Koalisi Pemuda dan Masyarakat Aceh (KPMA) menyuarakan tuntutan agar Bupati Nagan Raya segera mencabut izin HGU milik PT Fajar Baizuri & Brothers (FBB), menyusul berlarut-larutnya konflik antara perusahaan dan masyarakat yang terdampak langsung oleh aktivitas usaha tersebut.
Dalam pernyataan resmi yang diterima Kompas pada Sabtu (1/11/2025), KPMA menilai bahwa kehadiran perusahaan tersebut tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat, melainkan justru memperparah penderitaan yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Tuduhan penguasaan lahan milik warga serta lemahnya tanggung jawab perusahaan terhadap dampak lingkungan menjadi pokok sorotan tajam dalam pernyataan sikap tersebut.
“Kami dari Koalisi Pemuda dan Masyarakat Aceh dengan tegas mendesak Bupati Nagan Raya untuk mencabut HGU PT Fajar Baizuri & Brothers. Jangan biarkan rakyat terus menjadi korban kerakusan korporasi,” ujar Rizki Aulia Zulfareza, Koordinator Lapangan KPMA, dalam keterangannya di Banda Aceh, Sabtu.
Ia menilai, keberpihakan pemerintah selama ini tampak tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat kecil. Pemerintah daerah, kata dia, seharusnya mampu menjadi pelindung hak-hak warga, khususnya akses terhadap lahan produktif yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi sebagian besar masyarakat di sejumlah gampong di Nagan Raya. Ketika tanah rakyat tergeser oleh korporasi besar, maka yang hilang tidak hanya sumber penghidupan, tetapi juga martabat dan identitas mereka sebagai petani.
Menurut KPMA, izin HGU yang dimiliki PT Fajar Baizuri & Brothers perlu dikaji ulang secara menyeluruh. Selain karena diduga terjadi penguasaan lahan di luar batas konsesi, perusahaan juga dinilai mengabaikan prinsip-prinsip keadilan sosial dalam setiap operasinya. Warga yang telah menggarap lahan secara turun-temurun dipaksa kehilangan akses kehidupan, sementara perusahaan terus menjalankan usaha dengan legitimasi hukum yang dipertanyakan masyarakat.
Tak hanya dari sisi agraria, KPMA juga menyoroti buruknya catatan pengelolaan lingkungan hidup oleh perusahaan. Dalam dokumen yang dirujuk KPMA, PT Fajar Baizuri & Brothers pernah mendapatkan peringkat PROPER Merah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang menandakan lemahnya komitmen perusahaan dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Pencemaran sungai, rusaknya sistem pertanian, hingga memburuknya kualitas air adalah bagian dari dampak ekologis yang diduga ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan. Di tengah kerentanan itu, KPMA mempertanyakan peran aktif pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan dan perlindungan terhadap warga terdampak.
“Pembangunan tidak boleh dijadikan pembenaran untuk merampas hak rakyat. Kami justru mendorong bentuk pembangunan yang inklusif, partisipatif, dan ramah lingkungan. Apa artinya kemajuan jika masyarakat justru menjadi korban?” kata Rizki.
Dalam konteks tersebut, KPMA menyerukan kepada Bupati Nagan Raya untuk tidak ragu dalam menggunakan kewenangannya — termasuk opsi mencabut izin — apabila ditemukan pelanggaran hak asasi masyarakat dan kerusakan lingkungan yang berulang. Rizki menegaskan bahwa evaluasi atas pemberian HGU harus dilakukan secara transparan dan melibatkan masyarakat, tokoh adat, serta unsur pemuda, sebagai bagian dari praktik pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan.
“Jika Bupati berpihak pada rakyat, maka keputusan tegas harus diambil. Jangan tunggu hingga konflik meluas dan rakyat benar-benar kehilangan harapan,” katanya.
Tidak hanya mengajukan kritik dan desakan, KPMA juga menegaskan bahwa perjuangan mereka merupakan bentuk tanggung jawab moral mahasiswa dan pemuda Aceh untuk membela masyarakat yang tertindas oleh kekuasaan modal. Menurut Rizki, suara pemuda tidak boleh bungkam dalam melihat ketimpangan yang terjadi di depan mata.
“Ini bukan sekadar konflik tanah. Ini perjuangan untuk mempertahankan ruang hidup, mempertahankan martabat, dan memperjuangkan keadilan yang menjadi hak rakyat Aceh,” ujar Rizki Aulia Zulfareza.
Selain itu, KPMA juga mengajak seluruh elemen masyarakat, mulai dari mahasiswa, petani, tokoh agama hingga pegiat lingkungan, bersatu dalam memperjuangkan keadilan agraria di Aceh, khususnya di Kabupaten Nagan Raya. Mereka menyebut bahwa keadilan yang ditunda akan melahirkan krisis sosial yang lebih dalam, dan pemerintah yang diam dalam penderitaan rakyat adalah pemerintah yang kehilangan legitimasi.
“Selama rakyat masih kehilangan hak atas tanahnya, kami tidak akan berhenti. Pemerintah harus menunjukkan keberpihakan, bukan netralitas. Karena dalam banyak kasus konflik agraria, netralitas justru menjadi bentuk keberpihakan yang terselubung,” ucapnya.
Hingga Minggu (2/11/2025), belum ada tanggapan resmi dari Pemerintah Kabupaten Nagan Raya terkait tuntutan yang disampaikan KPMA. Namun demikian, gelombang suara dari masyarakat sipil yang menuntut keadilan atas konflik lahan tersebut diperkirakan akan terus bergulir dalam beberapa waktu ke depan, menandai babak baru dalam perjuangan warga untuk mendapatkan kembali hak atas tanah dan kehidupan mereka.
Laporan: Tim Kompas | Banda Aceh













































