ACEH BARAT, BARANEWS — Insiden pelemparan dan perusakan fasilitas tambang di Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Woyla, Aceh Barat, menjadi sorotan publik setelah videonya viral dan beredar luas di berbagai platform media sosial. Fasilitas yang dirusak diketahui milik PT Megalanic Garuda Kencana (MGK), salah satu perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan tersebut.
Peristiwa itu terjadi pada Kamis hingga Sabtu, 3–5 Oktober 2025, saat tim gabungan dari DPRK Aceh Barat, sejumlah Satuan Kerja Perangkat Kabupaten (SKPK) terkait, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Balai Wilayah Sungai Sumatera I, aparat TNI-Polri, serta perwakilan masyarakat tengah melakukan kunjungan lapangan ke lokasi tambang.
Kunjungan itu merupakan bagian dari tindak lanjut pemerintah daerah atas rekomendasi penutupan sementara dua perusahaan tambang di kawasan Krueng Woyla, yakni PT MGK dan PT Koperasi Putra Putri Aceh (KPPA).
Namun, situasi di lapangan berubah menjadi tidak kondusif. Sekelompok warga diduga melakukan tindakan anarkis dengan melempari dan merusak fasilitas kapal keruk milik PT MGK. Aksi tersebut terekam dalam sejumlah video dan foto yang kemudian ramai dibagikan di media sosial.
Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina), Muhammad Nur, membenarkan kejadian tersebut. Ia menyesalkan tindakan sebagian masyarakat yang dinilainya tidak mencerminkan upaya penyelesaian masalah secara beradab dalam negara hukum.
“Namun sangat disayangkan, dalam kunjungan tersebut terjadi tindakan anarkis dari sekelompok masyarakat yang melempari dan merusak fasilitas kapal keruk milik PT MGK,” kata Muhammad Nur saat dikonfirmasi, Minggu (5/10/2025).
Ia menegaskan bahwa setiap keberatan atau ketidakpuasan terhadap aktivitas pertambangan semestinya disampaikan melalui jalur hukum, bukan dengan tindakan kekerasan yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal.
“Perbedaan pandangan harus disalurkan melalui mekanisme hukum yang benar, seperti mengajukan gugatan atau keberatan ke pengadilan,” ujarnya.
Muhammad Nur juga menambahkan, tindakan itu tidak dapat dibenarkan, terlebih menyerang fasilitas milik perusahaan yang telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) resmi dari pemerintah dan beroperasi sesuai ketentuan yang berlaku.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak kepolisian terkait tindak lanjut hukum atas kejadian tersebut. Sementara itu, upaya mediasi antara perusahaan, pemerintah daerah, dan masyarakat disebut masih terus diupayakan demi menghindari konflik berkelanjutan di wilayah tersebut. (*)












































