Meulaboh – Desakan publik terhadap keberadaan PT Magellanic Garuda Kencana (MGK), perusahaan tambang emas yang beroperasi di kawasan Woyla Raya, Kabupaten Aceh Barat, semakin menguat. Kali ini, suara tegas datang dari Ketua Ikatan Pelajar Mahasiswa Woyla Raya (IPERMAWAR), Syahrul, yang menuntut Bupati Aceh Barat untuk segera mengambil langkah tegas menghentikan seluruh aktivitas pertambangan perusahaan tersebut.
Dalam pernyataannya pada Jumat (20/6), Syahrul menyebut bahwa penolakan terhadap PT MGK bukan lagi gerakan sporadis, melainkan telah menjadi aspirasi kolektif masyarakat yang merasakan langsung dampak sosial dan ekologis dari operasi tambang itu.
“Desakan penghentian total terhadap PT MGK bukan hanya datang dari satu dua kelompok. Ini sudah menjadi aspirasi luas masyarakat yang melihat langsung dampak keberadaan perusahaan tersebut,” ujar Syahrul dalam konferensi pers yang digelar secara terbuka.
IPERMAWAR menilai bahwa sejumlah informasi terkait dugaan pelanggaran hukum oleh PT MGK—baik dalam aspek lingkungan hidup maupun administrasi perizinan—telah beredar di tengah publik sejak lama. Namun, hingga kini, belum terlihat adanya langkah konkret dari Aparat Penegak Hukum (APH), khususnya dari jajaran Polres Aceh Barat.
“Kami kecewa dengan sikap Polres Aceh Barat yang hingga kini belum mengambil tindakan tegas. Padahal informasi soal dugaan pelanggaran lingkungan dan administrasi oleh PT MGK sudah lama beredar di ruang publik,” ujar Syahrul.
Syahrul juga mengingatkan bahwa diamnya aparat dalam menghadapi persoalan ini bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Aceh Barat. Ia menegaskan bahwa mahasiswa dan masyarakat tidak akan tinggal diam jika negara terus abai terhadap hak-hak rakyat dan kelestarian lingkungan.
Lebih dari sekadar pernyataan sikap, IPERMAWAR menyatakan siap membangun konsolidasi dengan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya di Aceh Barat. Tujuannya, agar gerakan advokasi terhadap dampak tambang emas bisa diperluas secara kolektif dan sistematis.
“Kami tidak hanya akan terus bersuara, tetapi juga membuka ruang konsolidasi bersama tokoh masyarakat, aktivis lingkungan, serta lembaga swadaya masyarakat untuk mengawal isu ini secara bersama-sama,” tegas Syahrul.
Organisasi mahasiswa ini juga menyerukan kepada Bupati Aceh Barat agar tidak lagi menutup mata terhadap gejolak keresahan masyarakat. Menurut mereka, tanggung jawab tertinggi ada di tangan kepala daerah untuk memastikan bahwa investasi tidak menabrak hak-hak masyarakat dan tatanan ekologis yang berkelanjutan.
Pernyataan paling tajam disampaikan Syahrul di akhir konferensinya. Ia menggarisbawahi bahwa mahasiswa siap menjadi corong bagi masyarakat yang selama ini merasa tak memiliki ruang untuk bersuara secara bebas terhadap keberadaan tambang emas tersebut.
“Kalau negara absen, mahasiswa akan hadir. Kalau aparat diam, kami akan bersuara,” pungkasnya.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, pihak PT MGK belum memberikan tanggapan atas desakan tersebut. Begitu pula dengan Bupati Aceh Barat yang belum mengeluarkan pernyataan resmi.
Situasi ini menandai bahwa konflik antara warga dan entitas korporasi tambang di Aceh Barat belum menunjukkan tanda-tanda mereda, dan bisa bereskalasi jika pemerintah tetap diam. (*)