Den Haag – Ketegangan sempat mewarnai sidang parlemen Belanda saat Ester Ouwehand, anggota parlemen sekaligus ketua partai Partij voor de Dieren (Partai untuk Hewan), hadir dengan mengenakan pakaian berwarna merah, putih, hitam, dan hijau – perpaduan warna bendera Palestina.
Tindakan Ester sontak memicu protes dari sejumlah anggota parlemen lainnya yang menganggap busana tersebut sebagai pernyataan politik terbuka, yang dinilai tidak sesuai dengan etika netralitas forum parlemen. Namun, Ester tak bergeming. Ia bahkan menantang aturan yang melarangnya berpakaian demikian.
“Saya membaca aturan tata tertib. Saya tidak melihat ada yang menyatakan bahwa Anda tidak boleh berpidato dengan blus berwarna merah, hijau, putih, dan hitam,” ucap Ester lantang saat berdebat dengan Ketua Parlemen Martin Bosma dalam sidang anggaran nasional, dikutip dari Al Jazeera, Sabtu (20/9/2025).
Bosma lantas bersikeras memintanya berganti pakaian. Ia menyebut kehadiran warna-warna tersebut dianggap tidak netral dan berpotensi memancing perdebatan politik yang tidak substantif.
“Saya merasa keberatan Anda di sini dengan bendera ini,” ujar Bosma.
“Silakan keluar dan ganti pakaian, lalu kembali ke dalam ruang sidang,” sambungnya.
Namun Ester tetap menolak.
“Saya akan sangat menghargai jika saya dapat memberikan kontribusi tanpa harus berganti pakaian,” jawabnya.
Perdebatan di dalam ruang sidang DPR Belanda pun memanas hingga akhirnya Ester didesak keluar. Namun pernyataan politiknya tak berhenti sampai situ. Tak lama setelah keluar dari ruang sidang, Ester kembali – kali ini dengan busana bermotif semangka. Ia mengenakan kemeja merah muda dengan bintik-bintik hitam dan celana hijau.
Busana itu bukan tanpa makna. Semangka dalam tradisi perlawanan Palestina adalah simbol solidaritas yang muncul sejak bendera Palestina dilarang Israel usai Perang Enam Hari pada 1967. Warna-warna buah semangka – merah, putih, hitam, dan hijau – menyimbolkan perlawanan atas penjajahan dan pembungkaman.
Dalam pidatonya, Ester tetap menegaskan dukungan penuh terhadap rakyat Palestina, khususnya masyarakat Gaza yang menurutnya kini diperlakukan tidak manusiawi.
“Kita berdiri di sini dalam solidaritas dengan Palestina yang tidak berdaya,” tegasnya.
“Kita hanya dapat bergerak maju jika kita berani menempatkan mereka yang paling rentan di pusat,” lanjut Ester di tengah suasana sidang yang sudah mulai tenang.
Sejauh ini, sebanyak 24 negara di Eropa telah secara resmi mengakui Palestina, termasuk Irlandia, Spanyol, Norwegia, dan Prancis. Inggris dilaporkan akan mengikuti langkah serupa, namun sempat terganjal pengaruh Donald Trump saat kunjungan ke London beberapa waktu lalu.
Sementara itu, PBB melalui laporan resminya menuding Israel melakukan aksi genosida di Palestina sejak invasi besar-besaran ke Gaza pada Oktober 2023. Lebih dari 60 ribu warga sipil Palestina dilaporkan tewas dari total sekitar 2,3 juta penduduk di Gaza.
Ester Ouwehand kini menjadi salah satu politisi Eropa vokal yang terus menyerukan solidaritas kemanusiaan untuk Palestina, bahkan dengan konsekuensi politik yang dihadapinya langsung di ruang sidang parlemen negaranya.
Satu hal yang pasti, aksi kecil dengan makna besar ini mengirimkan pesan kuat: isu kemanusiaan tak bisa dibungkam, bahkan lewat aturan berpakaian.












































