Opini
Oleh : Fadhli Irman – Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA)
Pidato Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Tahunan MPR RI, 15 Agustus 2025, terdengar lantang menindak tegas 3,7 juta hektare sawit ilegal dan 1.063 tambang nakal nakal tanpa pandang bulu dan bekingan. Namun gema janji itu tak pernah terasa di Aceh Selatan, daerah yang justru menghadirkan contoh nyata lemahnya penegakan hukum di sektor pertambangan dan perkebunan. Dua nama mencuat, PT Pinang Sejati Utama (PSU) dan PT Aceh Lestari Indo Sawita (ALIS).
Kasus PT PSU telah lama memicu keresahan. Warga sekitar lokasi tambang menuding perusahaan abai terhadap kewajiban tanggung jawab sosial atau CSR yang seharusnya wajib sesuai Pasal 108 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Pada 3 Januari 2024, PT PSU berjanji menyetor CSR sebesar Rp 500 juta per tahun kepada Pemkab, namun hingga awal 2025 janji itu tak terealisasi dengan dalih tak ada qanun dan aturan yang memperbolehkan. Konflik sosial pun berulang, hingga Bupati Aceh Selatan H. Mirwan MS mengeluarkan surat penghentian sementara serta evaluasi aktivitas tambang dan pengangkutan bijih besi oleh KSU Tiega Manggis dan PT PSU pada 21 Juli 2025. Namun fakta di lapangan menunjukkan aktivitas masih berlangsung, mempertegas dugaan bahwa perintah kepala daerah tak dihormati oleh korporasi.
Di sisi lain, PT ALIS dengan berani mengelola perkebunan sawit tanpa Hak Guna Usaha (HGU). Perusahaan ini mengaku sudah mulai menggarap 40 hektare dari total 1.357 hektare dengan dalih memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan PPKPR, padahal Pasal 42 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan secara tegas mewajibkan HGU sebagai syarat mutlak. Bahkan, Temuan HAkA menunjukkan PT ALIS telah membuka 109 hektare lahan, bahkan ditemukan 72 hektare yang terbakar di sekitar areal konsesi, yang berbatasan langsung dengan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Peristiwa ini jelas melanggar Pasal 69 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2009 yang melarang pembukaan lahan dengan cara membakar. Banyak elemen sipil bahkan mendesak Pemerintag menghentikan seluruh aktivitas PT ALIS karena dianggap merugikan masyarakat, mengancam lingkungan, dan mengangkangi aturan hukum.
Ironisnya, Presiden telah membentuk Satgas Garuda untuk menertibkan sawit ilegal dan Satgas Tambang untuk memberantas pertambangan bermasalah. Namun hingga kini, dua satgas itu belum pernah menyentuh Aceh Selatan. Padahal, kasus PT PSU dan PT ALIS adalah gambaran telanjang bagaimana hukum dan regulasi hanya berhenti di atas kertas. Di lapangan, konflik sosial terus terjadi, lingkungan rusak, dan masyarakat terpinggirkan.
Gertakan Prabowo di Senayan hanya akan menjadi sabda politik tanpa taring jika Aceh Selatan terus diabaikan. Satgas harus segera turun, audit independen mesti dilakukan, izin yang melanggar wajib dicabut, dan tanggung jawab sosial serta lingkungan harus ditegakkan. Tanpa langkah nyata, janji presiden hanya akan menjadi catatan pidato yang berdebu, sementara bumi Aceh Selatan terus tergerus oleh kerakusan korporasi. (*)