Opini
Penulis : Sri Radjasa(Pemerhati Intelijen)
Kita sebagai bangsa yang hidup di atas kemewahan alam, sering kali merasa seperti pungguk merindukan bulan. Setiap lima tahun, kita disuguhi retorika baru, kemasan politik yang katanya “berpihak kepada rakyat,” tetapi pada akhirnya, isinya tetaplah sama yakni sebuah praktik “bagi-bagi kepentingan” yang hanya dinikmati oleh segelintir elite dan kaum oligarki. Ironi ini telah menjadi siklus yang tak terputus sejak Indonesia merdeka.
Kita tidak pernah benar-benar menikmati suksesi yang mulus dan membangun. Setiap transisi kekuasaan nasional selalu diwarnai konflik, kecurigaan, dan upaya saling menjatuhkan.
Akibatnya, setiap kepala negara baru dilantik, Indonesia seolah baru merdeka. Semua kebijakan mulia presiden sebelumnya dianggap sebagai kerikil dalam sepatu yang harus segera disingkirkan. Energi bangsa habis untuk urusan politik elite, bukan untuk mengurus kesulitan rakyat. Parahnya, kebijakan-kebijakan baru di semua sektor yaitu ekonomi, politik, hukum, dan sosial, tidak pernah menyentuh persoalan mendasar yang diderita rakyat, seperti sulitnya mencari kerja, mahalnya kebutuhan pokok, atau buruknya layanan kesehatan.
Dalam ilmu ekonomi kesejahteraan, keberhasilan sebuah kebijakan diukur dengan prinsip Pareto Optimality, di mana kemakmuran setidaknya satu orang harus meningkat dan tidak boleh berakibat pada kemiskinan orang lain. Atau setidaknya, kita bisa menggunakan Kaldor Hicks Criterion, di mana pihak yang diuntungkan dari kebijakan tersebut mampu mengompensasi kerugian pihak yang dirugikan, sehingga kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan tetap meningkat. Sayangnya, di Indonesia, yang berlaku adalah kriteria sebaliknya, dimana kekayaan segelintir orang meningkat tajam, sementara kemiskinan dan penderitaan rakyat kecil dianggap sebagai risiko yang harus ditanggung.
Mari kita bicara tentang modal dasar kita. Sejak Reformasi, kekayaan alam Indonesia berupa minyak, batu bara, gas alam, emas, nikel dan berbagai komoditas yang dicari pasar global nilainya diperkirakan sangat kolosal. Menurut pengamat energi Kurtubi, angkanya mencapai sekitar 200 ribu triliun dollar. Angka ini bukan fiksi. Ini adalah kenyataan bahwa Ibu Pertiwi kita luar biasa kaya.
Dengan modal sebesar itu, seharusnya Indonesia mampu melunasi seluruh utang luar negeri. Seharusnya, tidak ada lagi anak bangsa yang menderita gizi buruk, setiap orang tua bisa menjamin pendidikan layak untuk anaknya, dan setiap pemuda bisa memperoleh pekerjaan yang bermartabat. Ini bukan mimpi, ini adalah amanat Pasal 33 UUD 1945, bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun, apa yang kita lihat hari ini? Reformasi yang digadang-gadang sebagai sistem bernegara yang membawa demokrasi dan HAM, nyatanya tidak lebih baik dari era Orde Baru atau Orde Lama. Bahkan, tata kelola negara kita terasa semakin amburadul dan tak tentu arah. Pengelolaan sumber daya alam kita diikat oleh undang-undang yang terlalu mencerminkan liberalisme buta, sehingga memberi karpet merah kepada oligarki, investor asing, dan sindikat mafia tambang untuk leluasa mengeruk kekayaan alam kita. Reformasi seolah telah menggadaikan kedaulatan negara dalam mengelola SDA ke tangan pihak asing dan kaum bermodal.
Kita, negara, dan rakyat selaku pemilik sah atas kedaulatan, tidak pernah berubah statusnya selain sebagai subjek pasif dari proses eksplorasi dan eksploitasi pertambangan yang begitu masif di daerah-daerah kaya sumber daya.Biang kerok utama dari anomali pengelolaan kekayaan alam ini adalah satu faktor fundamental yaitu penggunaan kekuasaan negara belum pernah diproyeksikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari masa ke masa, sektor pertambangan ini selalu dijadikan “bancakan” (ajang bagi-bagi keuntungan) para pejabat negara, aparat penegak hukum, dan aparat keamanan yang berkolaborasi mesra dengan oligarki dan pemilik modal. Tidak mengherankan jika di setiap lokasi eksplorasi tambang, pasti ada “centeng” dari jenderal, petinggi hukum, atau pejabat tinggi negara yang di kepalanya hanya tersimpan satu memori “selagi menjabat, sikat seluruh kekayaan negara.”
Masalahnya bukan terletak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia atau ketertinggalan teknologi pertambangan, tetapi lebih kepada persoalan kejujuran dan kearifan moral penguasa negara. Pengelolaan kekayaan alam kita bukan masalah teknis, tapi masalah etis.
Publik harus berani menuding, para penguasa negara sejak Indonesia merdeka adalah otak pelaku perampokan warisan Ibu Pertiwi yang sejatinya diperuntukkan bagi anak cucu kita. Tidaklah berlebihan jika kita menganalogikan para penguasa ini lebih kejam dari binatang buas yang tidak pernah memakan anaknya sendiri. Hari ini, Presiden Prabowo telah berupaya membangun negara satgas untuk mengatasi kejahatan korporasi yang berkolaborasi dengan aparat hukum dan pejabat negara. Ini adalah langkah yang baik. Namun, tanpa disertai oleh manajemen berkelanjutan yang terukur dan komitmen politik yang teguh, penindakan kejahatan di sektor tambang dan perkebunan sawit ini hanya akan berakhir sebatas “ganti pemain”, sementara kejahatannya itu sendiri tetap berlangsung. Apalagi jika presiden baru masih menggunakan pendekatan kompromi untuk menyelesaikan kejahatan yang diduga melibatkan kekuasaan sebelumnya dan “genk solo.”
Pada akhirnya, kita, rakyat, hanya disajikan sinetron yang menyedihkan. Siapapun presidennya, wajahnya berganti, partainya berganti, tapi nasib kita tetap tidak berubah, bahwa menjadi korban abadi dari kekuasaan setengah hati yang gagal memenuhi janji kemerdekaan. Rakyat tetap setengah mati, menunggu janji kemakmuran yang tak kunjung terwujud.














































