Aceh Timur – Ketua Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) DPC Aceh Timur, Saiful Anwar, kembali mengingatkan seluruh kepala desa dan aparatur gampong agar tidak terjebak dalam kegiatan studi tiru ke Nusa Tenggara Barat (NTB) yang sedang ditawarkan oleh Lembaga Studi Profesional Indonesia (LSPI). Ia menilai kegiatan itu tidak hanya tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat desa, tetapi juga sarat dengan potensi penyimpangan anggaran yang berujung pelanggaran hukum.
Berdasarkan dokumen penawaran resmi yang dikeluarkan oleh LSPI dengan nomor 02/LSPI-A/IV/2025 tertanggal 30 April 2025, kegiatan tersebut ditujukan kepada seluruh pemerintah gampong dalam Kabupaten Aceh Timur. Kegiatan ini mencakup kunjungan ke beberapa lokasi di NTB seperti Desa Bileubante, Lingsar, Senaru, hingga Gili Mandiri, dengan fasilitas menginap di hotel berbintang seperti Lombok Plaza, Lombok Raya, Montana Senggigi, bahkan Jayakarta atau Mercure Jakarta untuk sesi kunjungan ke kementerian.
Biaya kontribusi kegiatan ini dibebankan kepada peserta dan disetor melalui rekening pribadi atas nama “Ade Afrianto” atau melalui rekening lembaga LSPI. Estimasi kontribusi berkisar antara Rp15 juta hingga Rp17 juta per peserta, tergantung pilihan lokasi dan durasi. Dalam formulir pendaftaran juga dicantumkan pemberian atribut seperti kemeja, kaos, dan penginapan mewah, yang menurut Saiful sangat tidak relevan dengan kondisi anggaran desa yang terbatas.
“Seharusnya Dana Desa itu dipakai untuk memperbaiki jalan dusun, air bersih, atau program pemberdayaan ekonomi masyarakat. Bukan untuk pelesiran berjubah pelatihan yang menginap di hotel mahal dan output-nya tidak terukur,” tegas Saiful Anwar pada Selasa, 24 Juni 2025.
Ia menegaskan bahwa kegiatan ini, jika menggunakan Dana Desa atau anggaran operasional desa, telah melanggar sejumlah regulasi penting. Salah satunya adalah Permendesa PDTT Nomor 13 Tahun 2023, yang menegaskan prioritas penggunaan Dana Desa untuk kebutuhan dasar, penguatan ketahanan pangan lokal, dan pengentasan kemiskinan. Studi tiru ke luar provinsi yang tidak berdampak langsung pada masyarakat desa jelas bukan prioritas, dan seharusnya dibatalkan.
Selain itu, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 201/PMK.07/2022 juga secara tegas melarang pembiayaan kegiatan yang tidak memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Apalagi jika mengatasnamakan perjalanan dinas tanpa urgensi dan tanpa persetujuan Bupati atau instansi teknis. Saiful menyebut bahwa program ini berpotensi menjadi modus pelanggaran administratif bahkan pidana, terutama jika laporan keuangan dipoles agar seolah sah.
“Bayangkan saja, kalau satu desa mengirim 3 orang, itu bisa habis Rp45 juta. Kalikan dengan 50 desa, bisa ratusan juta, dan itu uang rakyat. Seharusnya pemerintah daerah peka dan melarang, bukan malah membiarkan,” katanya.
Ia juga menyoroti bahwa pengelolaan Dana Desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 26 ayat (4) huruf c, yang mewajibkan kepala desa mengelola anggaran secara transparan dan akuntabel. Jika terbukti dana untuk kegiatan seperti ini diambil dari APBDes tanpa justifikasi yang kuat, maka Keuchik dan bendahara gampong bisa terancam jerat hukum dengan sangkaan tindak pidana korupsi.
LAKI mendesak Inspektorat Kabupaten Aceh Timur, Kejaksaan Negeri, serta Polres Aceh Timur untuk segera turun tangan melakukan audit dan pengawasan terhadap desa-desa yang ikut dalam program ini. Selain itu, Saiful menyampaikan bahwa pihaknya telah menerima informasi awal terkait sejumlah desa yang telah mendaftar dan akan segera menyusun laporan resmi ke Aparat Penegak Hukum (APH).
“Seharusnya ini jadi alarm serius. Jangan anggap kegiatan seperti ini kecil. Kalau diusut, ini bisa jadi skema korupsi berjemaah. Dan jangan lupa, Dana Desa itu uang negara, bukan milik pribadi Keuchik,” tutup Saiful.
Di akhir keterangannya, Saiful mengimbau agar para kepala desa tidak tergoda rayuan lembaga penyelenggara yang menjual konsep pelatihan atau studi tiru dengan kemasan mewah. Ia menegaskan bahwa tanggung jawab penggunaan Dana Desa bersifat pribadi dan langsung, serta berisiko tinggi jika tidak sesuai ketentuan. Dengan estimasi biaya hingga puluhan juta rupiah per desa, seharusnya para pemangku kepentingan lebih hati-hati dan memilih program yang benar-benar berdampak pada kesejahteraan warga desa.