Dalam sistem demokrasi, kebebasan pers adalah pilar utama yang melindungi suara rakyat dan memastikan kekuasaan tak melenceng dari mandatnya. Namun belakangan ini, kebebasan tersebut perlahan dipreteli secara sistemik melalui mekanisme yang tampak sah, namun secara substansi melukai semangat reformasi. Salah satu bentuknya adalah praktik verifikasi media oleh Dewan Pers yang kini makin disakralkan oleh lembaga negara, pemerintah daerah, hingga institusi penegak hukum. Kita menyebut ini bukan sekadar kekeliruan administratif, melainkan sebuah pembodohan publik yang dilembagakan.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak pernah mewajibkan media untuk terverifikasi oleh Dewan Pers. Pasal demi pasal dalam UU Pers tidak menempatkan Dewan Pers sebagai regulator atau lembaga perizinan. Fungsi utama lembaga ini adalah mendorong kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas kehidupan pers nasional. Maka ketika verifikasi media digunakan sebagai syarat mutlak kerja jurnalistik, kita sedang menghadapi penyimpangan fungsi dan pelecehan terhadap norma hukum itu sendiri.
Lebih dari itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa media-media lokal dan independen kerap menjadi korban diskriminasi karena tidak terverifikasi. Wartawannya diusir dari konferensi pers, medianya ditolak oleh humas pemerintah, bahkan tak jarang dilabeli sebagai “abal-abal” hanya karena belum mendapatkan stempel dari Dewan Pers. Padahal, mereka bekerja jujur, tunduk pada kode etik jurnalistik, dan tunduk pada Undang-Undang Pers.
Sikap ini sangat berbahaya. Kita sedang menyaksikan tumbuhnya oligarki informasi: hanya media yang ‘diakui’ yang dianggap sah berbicara. Di sisi lain, suara-suara alternatif yang kritis dan independen justru dimarjinalkan. Bukankah ini bentuk baru dari pembungkaman?
Pandangan kritis terhadap praktik verifikasi ini sudah lama disuarakan, salah satunya oleh Wilson Lalengke, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI). Dengan tegas ia menyatakan bahwa verifikasi media dan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang dilakukan oleh Dewan Pers tidak memiliki dasar hukum yang sah secara nasional. Menurutnya, semua bentuk sertifikasi profesi seharusnya di bawah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sayangnya, banyak institusi pemerintah yang terjebak dalam cara pandang sempit. Mereka menjadikan surat edaran Dewan Pers sebagai rujukan hukum, padahal surat edaran bukanlah sumber hukum yang mengikat secara universal. Lebih parah lagi, beberapa kepala daerah secara terbuka mengeluarkan aturan yang hanya mengakomodasi media yang terverifikasi. Apakah ini bentuk tunduknya negara pada lembaga non-pemerintah?
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XI/2013 telah memberikan kejelasan. Tidak ada kewajiban bagi wartawan maupun media untuk bergabung ke organisasi pers manapun atau harus terverifikasi oleh Dewan Pers. Putusan ini membentengi kemerdekaan pers dari monopoli atau dominasi organisasi tertentu. Namun sayangnya, putusan ini diabaikan dan terus-menerus dibungkam oleh praktik-praktik birokrasi yang otoriter.
Yang kita butuhkan hari ini adalah penegasan ulang makna kemerdekaan pers. Media yang sah bukanlah media yang dicap, tetapi media yang bekerja dengan jujur, mematuhi kode etik, dan bertanggung jawab kepada publik. Verifikasi bisa menjadi alat bantu standar mutu, tapi tidak boleh berubah menjadi alat pemukul untuk membungkam mereka yang tak tunduk.
Karena itu, editorial ini menyerukan kepada:
Pemerintah, untuk menghentikan diskriminasi terhadap media non-verifikasi,
Aparat penegak hukum, untuk tidak menjadikan status verifikasi sebagai dasar menerima atau menolak laporan media,
Dan kepada Dewan Pers sendiri, untuk merevisi pendekatan mereka agar tidak menciptakan kasta baru dalam dunia pers.
Kita tidak bisa membiarkan pembodohan publik terus berlangsung atas nama profesionalisme. Profesionalisme sejati lahir dari tanggung jawab terhadap kebenaran, bukan dari pengakuan administratif yang elitis.
Verifikasi media oleh Dewan Pers boleh dilakukan, tapi tidak boleh dipaksakan. Jika tidak, kita sedang melanggengkan oligarki informasi yang bertentangan dengan semangat reformasi. Maka sudah saatnya kita mengembalikan pers kepada rakyat, bukan kepada stempel dan struktur yang meninabobokan nalar kritis bangsa.
—
🖋️ Redaksi BaraNews
Untuk Kebebasan Pers yang Merdeka dan Bertanggung Jawab
—