Takengon, Baranewsaceh.co – Wartawan senior Bahtiar Gayo, Pimpinan Redaksi media daring Dialeksis.com, menerima penghargaan atas dedikasinya dalam meliput konflik dan proses perdamaian Aceh. Anugerah tersebut diserahkan pada malam penganugerahan 2 Dekade Hari Damai Aceh, yang digelar di Balee Meuseuraya, Banda Aceh, Jumat malam (15/8/2025).
Penghargaan ini diberikan oleh Badan Reintegrasi Aceh (BRA) Provinsi Aceh sebagai bentuk apresiasi terhadap para jurnalis yang terlibat langsung dalam peliputan konflik bersenjata pada 1997–2005 sekaligus mengawal proses perdamaian di Aceh.
Acara yang dimulai pukul 19.30 WIB dihadiri oleh tokoh perdamaian, mantan kombatan, pejabat pemerintah, aktivis masyarakat sipil, dan sejumlah wartawan senior.
Bahtiar Gayo dikenal luas melalui laporan-laporannya yang tajam di Harian Waspada pada era konflik. Menjadi wartawan saat itu bukan sekadar tugas jurnalistik, melainkan mempertaruhkan nyawa. “Ini merupakan pengabdian. Saya tidak pernah terpikir untuk mendapat penghargaan. Semoga menjadi amal ibadah,” ujarnya.
Selama 36 tahun berkecimpung di dunia jurnalistik, Bahtiar sudah merasakan pengalaman pahit, termasuk sempat ditangkap oleh pihak bertikai dan terperangkap dalam desingan peluru. Ia menegaskan, menjadi wartawan di masa konflik berarti siap menghadapi risiko apa pun demi menyampaikan informasi kepada publik. “Saat itu persoalan hidup dan mati bagaikan setipis kulit bawang,” katanya.
Dalam liputannya, Bahtiar sering bekerja sendiri di lapangan dan berdoa agar konflik segera berakhir. Ia mengaku sering menyaksikan kondisi tragis, seperti mayat bergelimpangan dan bangunan terbakar, yang membuatnya sulit tidur. Meski demikian, panggilan tugas dan tanggung jawab kepada publik tetap menjadi prioritasnya.
Salah satu pengalaman menariknya adalah mengirimkan berita eksklusif soal pembantaian Tgk Bantaqiah di Beutong Atueh melalui facsimile dari Bireun, karena jaringan di Takengon bermasalah. Demi memastikan berita sampai ke redaksi, ia menempuh perjalanan jauh dengan sepeda motor di tengah hujan gerimis.
Bahtiar enggan merinci pengalaman pahitnya selama konflik, termasuk ketika sempat ditangkap oleh pihak keamanan RI dan GAM. “Biarlah saya simpan di memori saya. Allah masih memberikan saya kesempatan hidup untuk beribadah menjelang akhir hayat ini. Semoga Aceh tidak lagi mengalami konflik dan damai ini abadi,” ujarnya.
Selain Bahtiar, sejumlah wartawan senior lain juga menerima penghargaan dalam acara ini, sebagai bentuk pengakuan atas rekam jejak mereka dalam mendokumentasikan peristiwa konflik dan transisi damai di Aceh.
Dari negeri Gayo, lahir wartawan yang berani meliput konflik dengan mempertaruhkan nyawa, dan pada 2 Dekade Damai Aceh ini, dedikasinya mendapat apresiasi. (Dani)