SUBULUSSALAM – Konflik agraria yang melibatkan PT Laot Bangko dengan masyarakat di enam desa Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, kembali memanas dan menimbulkan kegelisahan mendalam. Warga menuding perusahaan sawit tersebut melakukan pelanggaran beruntun yang merugikan masyarakat, mulai dari perluasan Hak Guna Usaha (HGU) secara sepihak, pengelolaan program plasma yang bermasalah, hingga Corporate Social Responsibility (CSR) yang tidak transparan.
Enam desa yang terdampak adalah Desa Penuntungan, Penanggalan Timur, Cepu, Kuta Tengah, Kampung Baru, dan Jontor. Mereka mengeluhkan perusahaan telah merambah dan memperluas lahan HGU hingga masuk ke wilayah transmigrasi warga, yang secara nyata merampas hak dan mata pencaharian masyarakat setempat.
Tak hanya itu, warga juga menuding PT Laot Bangko melakukan pemaretan dan perusakan lahan pertanian yang mereka garap selama ini. Kerusakan lahan tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian materiil, tetapi juga mengancam ketahanan hidup mereka yang bergantung pada hasil pertanian.
Puncak ketegangan terjadi pada Rabu (28/5/2025), saat warga memutuskan menghentikan secara paksa aktivitas penggalian parit gajah oleh perusahaan. Warga menilai proyek tersebut akan menutup akses jalan utama ke kebun mereka — akses vital yang menjadi sumber penghidupan banyak keluarga.
Masa Maha, perwakilan masyarakat dari enam desa yang dirugikan, menyatakan dengan tegas bahwa seluruh warga sudah sepakat membawa persoalan ini ke Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Subulussalam.
“Persoalan ini sudah sangat serius. Kami yang terdampak langsung pembuatan parit gajah telah sepakat untuk melaporkan ke DPRK agar persoalan ini mendapat perhatian dan penyelesaian yang adil,” ujarnya penuh ketegasan.
Selama ini, sengketa lahan antara warga dan PT Laot Bangko terus berlanjut tanpa titik terang. Warga mengaku pihak perusahaan tidak pernah memberikan kejelasan soal klaim batas wilayah HGU yang mereka klaim. Pemerintah pun dianggap abai, sehingga sengketa ini berlarut-larut dan semakin memperparah ketegangan di lapangan.
Menanggapi desakan masyarakat, Ketua Komisi B DPRK Subulussalam, Hasbullah, SKM., M.K.M., menyatakan kesiapannya untuk memfasilitasi Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara warga dan PT Laot Bangko.
“Kami dari DPRK akan segera memanggil PT Laot Bangko dalam rapat resmi guna mencari solusi dan melindungi kepentingan masyarakat. Fungsi pengawasan DPRK akan kami jalankan sebaik mungkin demi kemaslahatan rakyat,” ujar politisi Partai Golkar itu.
Hasbullah menegaskan, DPRK menuntut agar tidak ada perusahaan yang membawa malapetaka bagi masyarakat yang mengolah tanah mereka selama puluhan tahun.
“Kami harap Wali Kota Subulussalam dapat menindaklanjuti hasil rapat ini dengan rekomendasi tegas terhadap PT Laot Bangko agar sengketa ini segera selesai dan masyarakat tidak dirugikan lagi,” tambahnya.
Hingga berita ini disusun, PT Laot Bangko belum memberikan pernyataan resmi mengenai tudingan warga tersebut. Namun, tekanan publik semakin kuat agar pemerintah daerah turun tangan cepat dan menyelesaikan konflik agraria yang telah mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat di enam desa tersebut.
Sengketa ini bukan sekadar masalah administratif atau legalitas lahan, tetapi menyangkut masa depan warga yang menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian dan kejelasan kepemilikan tanah. Penyelesaian yang adil dan transparan sangat dinantikan agar konflik ini tidak berlarut-larut dan menimbulkan dampak sosial lebih luas. (RED)













































