Subulussalam | 24 Juni 2025 — Syair lirih Asai Nanggroe karya musisi Aceh, Rafly Kande, terdengar seperti doa yang patah di tanah yang subur namun penuh luka. Lagu itu mengalun bukan sekadar penghibur telinga, melainkan ratapan atas tanah warisan yang perlahan lepas dari tangan pewarisnya. Di balik keindahan alam dan budaya Aceh, tersimpan kisah pilu tentang masyarakat adat yang kian terpinggirkan di tanah sendiri—khususnya di Kota Subulussalam.
Subulussalam, kota yang menyandang nama besar ulama dan sastrawan Sheh Hamzah Fansuri, semestinya menjadi ruang yang adil bagi semua lapisan masyarakat, termasuk kelompok adat yang telah lama mendiami wilayah itu. Namun kenyataannya, sejumlah komunitas adat di wilayah ini hidup dalam tekanan dan keterasingan di tengah tanah yang mereka anggap sakral dan diwariskan secara turun-temurun.

Kemukiman Penanggalan, Binanga, hingga Sambo menjadi saksi bisu bagaimana hak-hak masyarakat adat diabaikan perlahan. Pertaki Jontor, tokoh masyarakat adat di Penanggalan, mengaku bingung dan tak berdaya saat melihat hutan adat yang mereka jaga selama puluhan tahun kini dikuasai pihak lain.
“Kami tidak pernah menjual tanah itu. Tapi sekarang sudah berdiri bangunan dan kebun sawit milik perusahaan,” ujar Pertaki Jontor kepada teropongbarat.co, dengan mata menerawang.
Ironisnya, banyak masyarakat adat bahkan tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya memiliki hak yang kuat atas tanah, hutan, dan sumber daya yang mereka kelola. Hak-hak itu diakui secara hukum, baik dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), qanun lokal, hingga pengakuan internasional melalui United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP 2007).
Namun, pengakuan itu belum sepenuhnya turun ke akar rumput. Ketidaktahuan, lemahnya pendidikan hukum, serta absennya pendampingan menjadikan masyarakat adat tak mampu memperjuangkan hak mereka.
Institusi adat seperti mukim, imum mukim, dan tuha peut yang seharusnya menjadi garda terdepan perlindungan hak adat, kini hanya menjadi simbol tanpa kuasa. Banyak tokoh adat hidup dalam keterbatasan, tidak diberi peran strategis dalam pengambilan keputusan, bahkan tidak dilibatkan dalam penyusunan tata ruang atau pembagian lahan.

Salah seorang imum mukim di Kecamatan Rundeng yang enggan disebutkan namanya mengaku tidak pernah dilibatkan dalam rapat-rapat terkait perizinan perusahaan atau alih fungsi hutan. “Kami seperti tidak dianggap. Padahal wilayah itu dulunya milik kami,” ungkapnya lirih.
Situasi ini diperparah oleh rendahnya perhatian pemerintah daerah terhadap penguatan lembaga adat. Tidak ada program khusus untuk pendidikan hukum adat, pendataan wilayah adat, maupun pengakuan formal terhadap komunitas-komunitas adat yang masih eksis.
MoU Helsinki tahun 2005 yang menjadi tonggak perdamaian Aceh juga membawa janji penguatan hak adat. Janji itu kemudian dituangkan dalam UUPA, yang mengatur tentang keberadaan mukim dan kewenangan adat. Namun dalam praktiknya, banyak pasal itu yang hanya menjadi teks di atas kertas.
Padahal, Mahkamah Konstitusi RI dalam putusan No. 35/PUU-X/2012 telah mengakui keberadaan hutan adat sebagai bagian dari hak masyarakat hukum adat, yang bukan lagi bagian dari hutan negara.
“Kalau dasar hukum sudah kuat, kenapa masyarakat adat masih menderita?” tanya Antoni Tinendung, Ketua LSM Suara Putra Aceh, yang selama ini aktif mendampingi komunitas adat di Subulussalam.
Di tengah kegamangan itu, suara seni seperti Asai Nanggroe kembali menjadi pengingat. Lagu itu menyuarakan harapan, namun juga luka yang belum sembuh. Aceh yang damai bukan hanya bebas dari konflik bersenjata, tetapi juga bebas dari ketidakadilan struktural terhadap masyarakat adatnya.
Kini, pertanyaannya bukan lagi tentang apakah masyarakat adat punya hak. Tapi apakah negara dan pemerintah daerah benar-benar hadir untuk menegakkan hak itu? Sudah saatnya qanun adat dijalankan, bukan hanya dituliskan. Sudah waktunya lembaga adat diberi kekuatan, bukan hanya panggung seremoni.
Masyarakat adat Aceh bukan bagian dari masa lalu romantik, melainkan penjaga masa depan Aceh yang lestari. Suara mereka mungkin sunyi, namun bukan berarti harus dibiarkan hilang. Tanah ini terlalu agung untuk dirampas. Dan mereka yang menjaga tanah ini terlalu berharga untuk dilupakan.
Antoni Tinendung – Ketua LSM Suara Putra Aceh













































