Banda Aceh — Presiden Mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Tengku Raja Aulia Habibie, mengecam keras pernyataan Menteri Pertanian RI yang menuding impor 250 ton beras ke Sabang sebagai kegiatan ilegal. Habibie menilai ucapan tersebut sebagai bentuk penghinaan terbuka terhadap Aceh, sekaligus bukti bahwa pemerintah pusat kembali menunjukkan ketidakseriusannya menghormati MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Kegiatan bongkar muat pada 20 November 2025 dilakukan secara terang-terangan di Pelabuhan CT-1 Sabang, disaksikan oleh Wali Kota Sabang, Kapolres, Komandan Lanal, pimpinan BPKS, serta Bea Cukai. Dengan fakta sejelas itu, tuduhan ilegal dianggap sebagai fitnah yang tidak dapat ditoleransi.
Habibie menyatakan bahwa pernyataan Menteri Pertanian bukan hanya keliru, tetapi merupakan tindakan yang mencederai Aceh secara langsung.
“Aceh sudah terlalu sering diperlakukan seolah tidak memiliki dasar hukum khusus. Padahal semua sudah diatur dengan jelas. Ketidakkonsistenan pusat hanya memperlebar jarak kepercayaan,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menegaskan bahwa tindakan pemerintah pusat tersebut adalah bentuk pelecehan terang-terangan terhadap Pasal 167–170 UUPA serta UU No. 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, yang memberikan dasar legal dan kewenangan penuh bagi Sabang dalam aktivitas perdagangan internasional.
Menurut Habibie, pernyataan ini menambah panjang daftar perilaku pusat yang sering bertindak seolah Aceh tidak memiliki kekhususan apa pun. Ia menilai pusat secara berulang telah melangkahi perjanjian damai yang seharusnya menjadi dasar hubungan politik antara Aceh dan Indonesia.
“MoU Helsinki dan UUPA bukan catatan pinggir. Itu fondasi perdamaian. Tapi pusat berkali-kali bertindak seolah Aceh bisa diinjak kapan saja. Dan sekarang, seorang menteri menambah penghinaan baru,” katanya.
Habibie juga menyoroti sikap DPR RI dan DPD RI asal Aceh yang memilih bungkam ketika Aceh disudutkan. Ia menyebut diamnya mereka sebagai bentuk pengkhianatan terhadap mandat rakyat.
“Saat Aceh diserang, mereka hilang. Tidak satu pun bersuara. Tapi kalau jabatan dan pencitraan di media sosial, mereka paling depan. Rakyat Aceh sudah muak dengan kepalsuan ini,”ujar Habibie.
Ia menegaskan bahwa keheningan para wakil Aceh di Senayan menjadi bukti bahwa sebagian besar dari mereka tidak memiliki keberanian maupun loyalitas terhadap Aceh. Yang mereka jaga hanya kursi, bukan rakyatnya.
Habibie meminta Menteri Pertanian segera mengklarifikasi dan bertanggung jawab atas ucapan yang telah mempermalukan Aceh secara nasional.
“Tidak ada pejabat yang boleh sembarangan menyerang kewenangan Aceh. Ini harus pertanggungjawaban, bukan sekadar permintaan maaf seadanya,” tegasnya.
Di akhir pernyataannya, Habibie menegaskan bahwa mahasiswa tidak akan berdiam diri terhadap upaya apa pun yang menggerus kekhususan Aceh.
“Setiap pelecehan terhadap Aceh adalah pelecehan terhadap perjanjian damai. Dan kami tidak akan tinggal diam,” tutupnya.





































