Memahami Perbedaan Data Kemiskinan: Mengapa Angka Bank Dunia dan BPS Tak Bisa Disamakan

Redaksi Bara News

- Redaksi

Jumat, 4 Juli 2025 - 07:57 WIB

5024 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

JAKARTA | Awal April 2025, Bank Dunia melalui laporan Macro Poverty Outlook menyebutkan bahwa pada tahun 2024 lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia, atau setara dengan 171,8 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa. (Bank Dunia, 3 April 2025)

Perbedaan angka yang tampak signifikan ini sebenarnya tidak saling bertentangan. Perbedaan tersebut muncul karena adanya perbedaan metode penghitungan, standar garis kemiskinan yang digunakan, dan tujuan pengukuran dari masing-masing lembaga. Penting untuk dipahami secara bijak agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam menafsirkan data kemiskinan.

Bank Dunia memiliki tiga standar garis kemiskinan untuk memantau pengentasan kemiskinan global dan melakukan perbandingan antarnegara. Pertama, US$2,15 per kapita per hari untuk mengukur kemiskinan ekstrem. Kedua, US$3,65 per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah bawah. Ketiga, US$6,85 per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah atas. Ketiga standar tersebut dinyatakan dalam dolar PPP (Purchasing Power Parity), bukan kurs pasar, melainkan nilai tukar yang disesuaikan dengan daya beli masyarakat. Pada tahun 2024, US$1 PPP setara dengan Rp5.993,03.

Angka kemiskinan Indonesia sebesar 60,3 persen yang dirilis Bank Dunia didasarkan pada penggunaan standar US$6,85 PPP per kapita per hari. Standar ini bukan ditetapkan berdasarkan kebutuhan dasar penduduk Indonesia secara khusus, melainkan disusun berdasarkan median garis kemiskinan dari 37 negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income countries). Oleh karena itu, angka ini tidak dapat dijadikan acuan langsung terhadap kondisi nasional, tetapi lebih bersifat komparatif global.

Sementara itu, BPS mengukur kemiskinan dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Garis kemiskinan dalam pendekatan ini dihitung berdasarkan jumlah pengeluaran minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Kebutuhan makanan dihitung dari standar minimal 2.100 kilokalori per kapita per hari, dengan komoditas seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayuran. Sedangkan kebutuhan non-makanan mencakup tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

Penghitungan garis kemiskinan oleh BPS didasarkan pada data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yang dilakukan dua kali dalam setahun. Pada tahun 2024, Susenas dilakukan pada bulan Maret dengan cakupan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia, dan pada bulan September dengan cakupan 76.310 rumah tangga. Pengukuran kemiskinan dilakukan pada tingkat rumah tangga, karena konsumsi dan pengeluaran masyarakat umumnya terjadi secara kolektif dalam satu rumah tangga, bukan secara individu.

Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita adalah Rp595.242 per bulan. Dengan rata-rata anggota rumah tangga miskin sebanyak 4,71 orang, maka garis kemiskinan untuk satu rumah tangga secara rata-rata nasional adalah Rp2.803.590 per bulan. Namun, nilai ini berbeda-beda di tiap provinsi, karena mencerminkan perbedaan harga, pola konsumsi, dan jumlah anggota rumah tangga. Di DKI Jakarta, garis kemiskinan rumah tangga tercatat sebesar Rp4.238.886, di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar Rp3.102.215, dan di Lampung sebesar Rp2.821.375.

Perlu kehati-hatian dalam membaca angka garis kemiskinan. Angka tersebut merupakan rata-rata dan tidak mempertimbangkan karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, atau jenis pekerjaan. Misalnya, garis kemiskinan per kapita di Jakarta sebesar Rp846.085 per bulan tidak berarti bahwa kebutuhan seorang ayah sama dengan kebutuhan seorang balita dalam satu keluarga. Karena konsumsi terjadi dalam konteks rumah tangga, pendekatan yang lebih tepat adalah melihat garis kemiskinan rumah tangga. Dalam rumah tangga beranggota lima orang (ayah, ibu, dan tiga balita), garis kemiskinan yang relevan adalah Rp4.230.425 per bulan, bukan lima kali Rp846.085.

Dengan memahami konsep ini, kemiskinan tidak dapat disederhanakan sebagai penghasilan individu. Seseorang yang memiliki pendapatan Rp20.000 per hari belum tentu tergolong miskin jika berada dalam rumah tangga dengan pengeluaran kolektif yang mencukupi. Sebaliknya, berada sedikit di atas garis kemiskinan juga tidak berarti seseorang telah sejahtera.

Selain kelompok miskin, terdapat pula kelompok rentan miskin (dengan pengeluaran antara 1,0 hingga 1,5 kali garis kemiskinan), kelompok menuju kelas menengah (1,5–3,5 kali GK), kelas menengah (3,5–17 kali GK), dan kelas atas (lebih dari 17 kali GK). Pada September 2024, distribusi penduduk Indonesia berdasarkan klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut: kelompok miskin 8,57 persen (24,06 juta jiwa), kelompok rentan miskin 24,42 persen (68,51 juta jiwa), kelompok menuju kelas menengah 49,29 persen (138,31 juta jiwa), kelas menengah 17,25 persen (48,41 juta jiwa), dan kelas atas 0,46 persen (1,29 juta jiwa).

Dengan demikian, pengentasan kemiskinan tidak hanya berarti mengangkat seseorang di atas garis kemiskinan, tetapi juga memastikan ketahanan ekonomi agar tidak mudah jatuh kembali ke dalam kemiskinan saat terjadi guncangan. Memahami konteks, metode, dan tujuan di balik angka-angka kemiskinan sangat penting agar kita tidak salah dalam membaca realitas dan merumuskan kebijakan. (*)

Berita Terkait

Wamenko Polkam Letjen TNI (Purn.) Lodewijk Paulus Beri Kuliah Umum di Lemhannas RI: Bahas Geopolitik Menuju Indonesia Emas 2045
Pengamat Soroti Framing Terhadap Budi Arie Motif Politis dan Hate Budi Arie Perangi Situs Judo
Penandatanganan Kesepakatan Bersama Pengelolaan Kawasan Pertanian dan Peternakan Blang Rakal
Pers Bukan Musuh Negara, Gubernur Dedi Mulyadi Dianggap Langgar Etika Publik dan Sengaja Hancurkan Marwah Jurnalis
Feri Rusdiono Minta Gubernur Jabar Dedi Mulyadi Pahami Pers sebagai Pilar Demokrasi dan Kontrol Sosial
DPP IWO Indonesia: Selamat Hari Bhayangkara ke-79, Sinergi Polri dan Pers untuk Negeri
Dr. H. M. Nasir Djamil: Dirgahayu ke-79 Polri, Jadilah Polisi yang Mengayomi, Transparan, dan Berkeadilan
Polri Menuju 79 Tahun: Menjaga Kepercayaan Masyarakat, Memperkuat Transformasi Menuju Polisi Modern dan Terbuka

Berita Terkait

Selasa, 8 Juli 2025 - 01:41 WIB

TRK Ajak Warga Sambut HUT Nagan Raya Ke 23 Tahun Pada Tanggal 20 -21 Juli Dengan Meriah

Senin, 7 Juli 2025 - 12:03 WIB

Camat Seunagan Timur Gelar IKRAR DAMAI Pemilihan Keuchik PAW.

Minggu, 6 Juli 2025 - 22:46 WIB

Ribuan Warga Terima Sajikan Bubur Kanji Asyura untuk Warga Dari DPW GR Aceh

Minggu, 6 Juli 2025 - 03:46 WIB

Mari Kita Sudahi Konflik Ijazah Jokowi dengan Kesimpulan Akhir “Insya Allah Palsu”

Sabtu, 5 Juli 2025 - 22:53 WIB

Ribuan Warga Padati Halaman Kantor Camat Seunagan Timur Memperingati Tahun Baru Islam 1447.H./2025.M.

Sabtu, 5 Juli 2025 - 08:19 WIB

Lain Beathor Lain Armando, Inilah Potret Politik Berhala

Jumat, 4 Juli 2025 - 23:53 WIB

Raja Sayang Wabup Nagan Raya Hadiri Munas I ASWAKADA Indonesia di Yogyakarta

Jumat, 4 Juli 2025 - 19:42 WIB

Ribuan ASN Dan PPK Tersenyum Gaji Ketiga Belas Segera Cair. Ini Harapan Bupati TRK

Berita Terbaru