Subulussalam (30 Mei 2025 – Kota Subulussalam kembali diwarnai polemik terkait dugaan pencemaran lingkungan di Sungai Lae Batu Batu. Dua media ternama di Aceh, Serambi Indonesia dan AcehTrend.com , memicu kegaduhan publik setelah menyajikan informasi yang berbeda mengenai kondisi sungai tersebut.
Dalam pemberitaannya, Serambi Indonesia menulis bahwa hasil uji laboratorium dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kota Subulussalam menyimpulkan air sungai “tidak tercemar”. Judul itu memberi kesan bahwa tidak ada ancaman serius bagi lingkungan maupun kesehatan masyarakat sekitar.
Namun klaim tersebut langsung menuai pertanyaan besar ketika AcehTrend.com mengungkap fakta berbeda. Berdasarkan surat resmi bernomor 011/DTK-USK/LTPKL/2025 dari Laboratorium Teknik Pengujian Kualitas Lingkungan (LTPKL) Universitas Syiah Kuala, pengujian residu pestisida pada sampel ikan belum selesai dilakukan. Alasannya, laboratorium mengalami keterbatasan bahan kimia untuk metode Gas Chromatography Mass Spectroscopy (GCMS), teknologi andalan dalam mendeteksi kontaminasi limbah berbahaya.
Artinya, dugaan pencemaran akibat aktivitas PT MSB II—perusahaan yang diduga menjadi sumber limbah—belum bisa dibuktikan secara tuntas. Fakta ini menjadi sorotan karena DLHK lebih dulu menyimpulkan bahwa air sungai aman tanpa menunggu hasil pengujian lengkap dari lembaga penelitian independen.
Warga pun mulai gelisah. Mana yang harus dipercaya? Apakah pernyataan DLHK yang menyebut air sungai bersih atau data dari LTPKL USK yang justru menyatakan pengujian belum selesai?
“Jika pengujian belum selesai, bagaimana bisa disimpulkan airnya aman?” kata salah satu aktivis lingkungan di Subulussalam yang enggan disebutkan namanya.
Ia menegaskan bahwa transparansi data adalah penting. Masyarakat berhak mengetahui apakah air sungai tempat mereka bergantung hidup benar-benar bebas dari racun atau justru sudah terkontaminasi zat berbahaya yang bisa merusak ekosistem dan kesehatan dalam jangka panjang.
Desakan agar DLHK Subulussalam dan LTPKL Universitas Syiah Kuala memberikan klarifikasi mulai menguat. Publik ingin mengetahui parameter uji apa saja yang telah dilakukan, mengapa pengujian GCMS tertunda, serta siapa yang bertanggung jawab atas kesimpulan “tidak tercemar” yang dirilis sebelum seluruh proses pengujian selesai.
Selain itu, muncul dugaan bahwa ada upaya untuk menutup-nutupi fakta yang bisa mengarah pada pelanggaran hukum oleh perusahaan yang diduga membuang limbah ke sungai.
“Ini bukan sekadar soal angka di laboratorium. Ini tentang nyawa, kesehatan, dan masa depan lingkungan kita,” ujar seorang tokoh masyarakat setempat.
Hingga kini, warga Subulussalam masih menanti jawaban jelas: apakah Sungai Lae Batu Batu benar-benar aman atau justru menjadi korban dari laporan prematur yang bisa membahayakan generasi mendatang?
Pertanyaan-pertanyaan kritis terus menggema, sementara baik pemerintah daerah maupun pihak universitas belum memberikan tanggapan resmi. (*)