BARANEWS | Apa jadinya jika sebuah kawasan hutan lindung yang seharusnya dilindungi negara justru menjadi ladang eksploitasi tambang emas? Pertanyaan ini menjadi cermin buram atas apa yang tengah terjadi di Kecamatan Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues, Aceh.
PT Gayo Mineral Resource (GMR), perusahaan pemegang izin eksplorasi, telah menancapkan kuku industrinya di kawasan yang semestinya steril dari aktivitas ekstraktif. Bukannya mendapat perlindungan, hutan lindung itu justru dirusak dari dalam: ekosistem tercabik, vegetasi lenyap, dan aliran air tercemar limbah tambang. Yang lebih memilukan, bau menyengat dari sisa produksi telah mengganggu kehidupan warga yang tinggal di sekitar lokasi.
Kita tidak bisa berpura-pura tak tahu. Ini bukan pelanggaran biasa. Ini adalah pengkhianatan terhadap mandat konstitusi untuk menjaga lingkungan hidup yang sehat bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka pertanyaan berikutnya muncul: di mana negara?
Sudah terlalu sering kita melihat pola yang sama: perusahaan melanggar, rakyat menjerit, pemerintah bungkam. Alasan yang dilemparkan selalu sama—izin dari pusat, kewenangan terbatas, atau prosedur yang telah dilalui. Tapi ketika rakyat mengeluh dan lingkungan rusak, siapa yang akan bertanggung jawab?
Pemerintah daerah tidak boleh lepas tangan. Meski perizinan berada di tingkat pusat atau provinsi, kerusakan yang ditimbulkan terjadi di wilayah kabupaten. Bupati, DPRD, dan dinas teknis tidak boleh hanya menjadi penonton dalam bencana ekologis yang membayangi wilayahnya sendiri. Kewajiban moral dan politik mereka justru paling besar: melindungi rakyat, bukan diam atas nama formalitas birokrasi.
Tambang emas di hutan lindung bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah bentuk perampasan ruang hidup rakyat. Ini adalah praktik yang menempatkan kepentingan modal di atas keberlanjutan lingkungan, dan itu tidak bisa dibiarkan.
Negara mesti hadir. Bukan hanya untuk membela investor, tapi untuk menegakkan keadilan ekologis. Aktivitas pertambangan yang terbukti merusak harus dihentikan. Izin yang cacat hukum harus dicabut. Penegakan hukum tidak boleh tebang pilih. Transparansi informasi kepada publik juga wajib dijalankan. Rakyat berhak tahu siapa yang bermain di balik tambang ini.
Kita tidak anti-investasi. Tapi investasi yang menginjak hak hidup rakyat dan merusak hutan tak layak diberi tempat di negeri ini. Apalagi jika terjadi di wilayah-wilayah yang masih menyimpan kekayaan hayati yang tak tergantikan seperti Gayo Lues.
Editorial ini bukan sekadar suara moral. Ini adalah seruan keras kepada semua pihak—dari pusat hingga daerah—untuk menghentikan pembiaran. Jika tidak ada langkah tegas, maka negara sedang memberi pesan bahwa hukum bisa dibeli, hutan bisa dijual, dan rakyat bisa dikorbankan demi kilau emas yang hanya menguntungkan segelintir elite.
Negara tidak boleh tunduk pada tambang. Bila negara terus diam, maka suara rakyat akan terus lantang: Selamatkan Gayo Lues. Cabut izin tambang. Hentikan perusakan hutan. Sekarang juga!













































