Subulussalam, Aceh – Proyek “Paret Gajah” yang dijalankan oleh PT Laot Bangko menjadi pemicu utama kemarahan warga Kecamatan Penanggalan. Pembangunan proyek tersebut tidak hanya memutus akses masyarakat tani ke lahan pertanian mereka, tetapi juga diduga melanggar batas-batas tapal yang telah ditetapkan secara resmi oleh pemerintah. Sejumlah patok batas yang menjadi acuan hukum dalam penetapan lahan adat dan perkebunan rakyat dilaporkan telah dilewati begitu saja oleh aktivitas proyek, menandakan adanya pemindahan tapal batas secara sepihak oleh perusahaan. Akibatnya, terjadi keresahan massal yang memuncak dalam bentuk musyawarah terbuka, dihadiri oleh tokoh masyarakat, tokoh adat, dan para pemuda dari seluruh penjuru Kecamatan Penanggalan.
Denni Bancin, salah satu tokoh masyarakat yang dikenal luas karena sikap konsisten dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, dengan tegas menyatakan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam. Ia menyampaikan bahwa apa yang dilakukan PT Laot Bangko telah mencederai hak-hak masyarakat secara menyeluruh. Menurutnya, proyek “Paret Gajah” hanyalah satu dari sekian banyak permasalahan yang terjadi akibat ketidaktransparanan dalam pengelolaan HGU oleh perusahaan tersebut. Ia menggarisbawahi bahwa masyarakat bukan hanya kehilangan akses terhadap tanah, tetapi juga kehilangan martabat sebagai pemilik sah atas tanah yang telah diwariskan turun-temurun.
Hal senada disampaikan oleh Rinto Berutu, yang mewakili suara pemuda Penanggalan. Dalam pidatonya, ia menekankan bahwa perjuangan ini bukan sekadar mempertahankan lahan pertanian, tetapi merupakan bentuk perlawanan terhadap penindasan sistemik yang menyingkirkan masyarakat adat dari ruang hidupnya sendiri. Rinto menyebut bahwa masyarakat Penanggalan selama ini sudah terlalu lama bersabar, namun tindakan PT Laot Bangko sudah melewati batas kesabaran tersebut. Ia menyerukan agar seluruh elemen masyarakat bersatu untuk melawan ketidakadilan yang kini mereka hadapi bersama.
Musyawarah terbuka yang berlangsung penuh semangat dan emosi tersebut menghasilkan sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada PT Laot Bangko dan pemerintah. Pertama, masyarakat menuntut agar proyek “Paret Gajah” segera dihentikan dan dilakukan pemulihan atas kerusakan yang telah terjadi. Kedua, mereka meminta ganti rugi atas tanaman masyarakat yang rusak serta akses jalan yang terputus akibat proyek tersebut. Ketiga, diterbitkannya sertifikat atas tanah adat yang selama ini belum diakui secara resmi oleh negara, padahal telah dikelola masyarakat sejak dahulu kala.
Tuntutan keempat adalah pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terbuka antara masyarakat, pemerintah, dan PT Laot Bangko, dengan tujuan mengungkap secara terang benderang berbagai skandal seputar pengelolaan HGU. Kelima, masyarakat meminta pengembalian hak Koperasi Pekebun (Koperbun) yang selama ini terpinggirkan dan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan strategis menyangkut kepemilikan dan pengelolaan kebun. Tuntutan keenam mencakup transparansi penuh dalam pelaksanaan program Corporate Social Responsibility (CSR) serta pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU), yang selama ini dianggap hanya menjadi wacana tanpa realisasi nyata bagi masyarakat sekitar.
Tuntutan ketujuh, yang tak kalah penting, adalah pengembalian areal transmigrasi yang selama ini masuk ke dalam wilayah operasional PT Laot Bangko tanpa adanya proses konsultasi dan persetujuan masyarakat lokal. Mereka menilai bahwa banyak areal transmigrasi tersebut telah menjadi sumber konflik baru karena diklaim sepihak oleh perusahaan sebagai bagian dari konsesi mereka. Terakhir, masyarakat mendesak agar manajer PT Laot Bangko saat ini segera diganti karena dianggap tidak memahami historisitas serta dinamika sosial masyarakat Penanggalan. Sosok manajer yang baru diharapkan memiliki latar belakang yang memahami budaya lokal dan bersedia membangun komunikasi yang adil dan transparan dengan masyarakat.
Dalam musyawarah itu pula, mengemuka dua isu besar yang selama ini menjadi buah bibir warga: “Plasma Siluman” dan “CSR Siluman”. Istilah ini merujuk pada dugaan kuat bahwa PT Laot Bangko menjalankan program lahan plasma dan CSR secara tidak transparan dan tidak dapat diakses secara adil oleh masyarakat. Banyak warga mengaku tidak pernah mengetahui secara pasti siapa saja penerima manfaat dari program tersebut, meskipun mereka tinggal tepat di sekitar wilayah perkebunan. Tidak adanya keterbukaan informasi dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang seharusnya menjadi pegangan perusahaan besar seperti PT Laot Bangko.
Kemarahan warga Penanggalan bukanlah kemarahan sesaat. Ini adalah akumulasi dari ketidakadilan yang mereka rasakan bertahun-tahun. Kini, ketika tanah adat mereka terancam dan hak-hak mereka diabaikan, masyarakat tidak tinggal diam. Dengan tekad yang bulat dan semangat yang membara, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan pemuda bersatu dalam satu barisan untuk memperjuangkan keadilan dan transparansi. Mereka menginginkan satu hal yang sederhana namun sangat mendasar: agar suara masyarakat kecil dihormati, hak mereka dilindungi, dan tanah leluhur mereka tidak diusik dengan kesewenang-wenangan korporasi. Bagi mereka, ini bukan lagi soal proyek atau ganti rugi. Ini adalah pertarungan mempertahankan harga diri dan eksistensi sebagai masyarakat adat di tanah sendiri. (TIM)