ACEH TENGGARA, – Defisit kinerja di Dinas Perdagangan Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disdagperinaker) Kabupaten Aceh Tenggara (Agara) telah melampaui batas toleransi administrasi. Data capaian Pendapatan Asli Daerah (PAD) selama empat tahun terakhir menguak borok manajemen publik yang berpotensi menjadi hambatan serius terhadap kemandirian fiskal daerah.
Tuntutan ketua DPD Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) PENJARA, Pajri Gegoh,agar Bupati mencopot Kepala Dinas yang bersangkutan bukan lagi sebatas kritik, melainkan refleksi atas kegagalan struktural dalam menerjemahkan potensi ekonomi lokal menjadi pemasukan daerah yang sah.
Kontradiksi Strategi dan Realisasi
Inti permasalahan terletak pada kontradiksi yang mencolok: target PAD terus dipangkas—dari angka Rp1,56 Miliar pada 2022 menjadi hanya Rp1,0 Miliar pada 2024 dan 2025—namun realisasi tetap berada di zona merah.
Pada 2022, capaian hanya 36,7\%. Kondisi serupa, bahkan lebih kritis, terjadi pada tahun berjalan 2025 di mana realisasi baru menyentuh 35,2 persen hingga September. Kegagalan berulang ini menunjukkan tidak adanya koreksi fundamental dalam strategi penarikan retribusi atau optimalisasi aset daerah yang dikelola instansi terkait.
Pertanyaan Kunci: Bagaimana mungkin sebuah instansi teknis yang seharusnya menjadi motor penggerak sektor perdagangan dan industri justru menjadi beban bagi kas daerah? Penurunan target secara masif mengindikasikan bahwa para pengambil kebijakan telah
kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan instansi itu sendiri, namun anomali tetap terjadi: kegagalan tetap berulang meskipun target telah disederhanakan.
Implikasi Lebih Jauh: Mengikis Kepercayaan Publik
Kegagalan Disdagperinaker tidak hanya tercatat sebagai angka merah dalam buku besar keuangan. Ini adalah isu etika publik yang serius.
PAD adalah manifestasi langsung dari upaya daerah untuk membiayai pembangunan tanpa sepenuhnya bergantung pada transfer pusat.
Defisit PAD ini berarti potensi dana untuk infrastruktur, peningkatan kualitas pasar, atau program pelatihan tenaga kerja—yang justru berada di bawah naungan Disdagperinaker—ikut tergerus.
Dengan kata lain, kegagalan mencapai target ini secara langsung mengkompromikan kemampuan Pemerintah Agara untuk melayani dan membangun daerahnya secara mandiri.
Saat ini, bola panas berada di tangan Bupati. Desakan pencopotan pejabat yang telah mencatat kegagalan kronis selama empat tahun menjadi ujian terakhir atas komitmen Kepala Daerah terhadap prinsip akuntabilitas publik dan meritokrasi.
Mempertahankan pejabat dengan rapor kinerja yang terbukti destruktif secara fiskal akan mengirimkan sinyal bahaya ke seluruh birokrasi: bahwa kegagalan berulang tidak memiliki konsekuensi struktural. Tindakan tegas—bukan sekadar rotasi—diperlukan sebagai upaya pemulihan kepercayaan dan penyelamatan kemampuan fiskal Kabupaten Aceh Tenggara.(***)














































