Oleh: Nur Kamarina – Mahasiswa Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Ar – Raniry
Email : rinakamarina15@gmail.com No. HP : 0895373680705
Pembukaan:
“Cerdas itu apa sih? Bisa ngerjain tugas kuliah dalam 3 detik? Bisa buat makalah tanpa typo? Atau justru kita bisa memahami perasaan orang lain tanpa harus diketik dulu? Di zaman sekarang, ketika dulu mahasiswa sibuk bergadang ngerjain tugas,tapi sekarang AI malah bisa menyelesaikannya dalam hitungan detik. Jadi,sebenarnya siapa yang paling cerdas,manusia yang belajar bertahun-tahun atau sebuah mesin yang baru “lahir” tapi langsung bisa segalanya?”
Dulu, jadi seorang mahasiswa itu identik dengan bergadang, kalau mahasiswa butuh bantuan ngerjain tugas, pilihannya cuma dua yaitu tanya temen atau cari buku di perpustakaan. Tapi sekarang? Tinggal buka laptop atau HP, ketik pertanyaan ke ChatGPT, dan dalam hitungan detik jawabannya langsung muncul. Dari nulis esai, ngecek grammar pakai Grammarly, sampai bantu nyusun presentasi. AI makin pintar,makin cepat,dan makin bisa diandalkan,AI udah jadi “teman baru” mahasiswa zaman sekarang.Bahkan kadang jawabannya lebih rapi daripada hasil kerja keras manusia.
Di tengah kehidupan penuh kemudahan sekarang, muncul banyak sekali pertanyaan yang makin sering kita dengar yaitu apakah mahasiswa masih lebih cerdas dari AI? Atau jangan-jangan, kita mulai kalah saing sama mesin? AI bisa menulis, menganalisis, bahkan bikin puisi. Tapi apakah itu cukup untuk disebut “cerdas”? Atau justru kecerdasan manusia punya sisi yang nggak bisa ditiru kayak empati, intuisi, dan kreativitas?
Pertarungan antara mahasiswa dan AI bukan cuma soal siapa yang lebih cepat atau lebih pintar secara teknis. Tapi ini adalah soal bagaimana kita mendefinisikan ulang arti kecerdasan di era digital. Dan yang lebih penting yaitu apakah kita akan bersaing dengan AI, atau justru belajar untuk berkolaborasi?
Secara umum, kecerdasan itu bukan cuma soal nilai tinggi atau bisa jawab soal. Menurut psikologi, kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk berpikir, memahami, memecahkan masalah, dan beradaptasi dengan lingkungan. Jadi, orang yang bisa cepat tanggap, punya empati, dan bisa cari solusi saat situasi berubah itu juga termasuk cerdas.
Menurut Muchlisin Riadi,kecerdasan itu bisa di lihat dari dua sisi: kuanlitatif dan kualitatif
- kuanlitatif : kemampuan memecahkan masalah yang bisa diukur lewat tes IQ.
- Kualitatif: cara berpikir yang fleksibel dan bisa mengelola informasi sesuai konteks.
Nah, kalau kita bandingkan dengan kecerdasan buatan (AI), bedanya cukup jelas. AI itu cerdas secara komputasional cepat, akurat, dan bisa proses data dalam jumlah besar. Tapi AI nggak punya emosi, intuisi, atau pemahaman sosial. Manusia punya kecerdasan yang lebih kompleks: bisa merasakan, berempati, dan memahami makna di balik kata-kata. Kita bisa baca situasi, menangkap nuansa, dan bikin keputusan berdasarkan pengalaman hidup.
Menurut IFLA (International Federation of Library Associations and Institutions), kecerdasan informasi juga mencakup kemampuan seseorang untuk mengakses, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara etis dan efektif. Ini menunjukkan bahwa kecerdasan bukan cuma soal tahu banyak, tapi juga soal bagaimana kita menggunakan pengetahuan itu dengan bijak.
Kalau kita ngomongin soal kecerdasan, banyak orang langsung mikirnya ke nilai tinggi, hafalan kuat, atau bisa jawab soal ujian. Padahal, menurut psikologi, kecerdasan itu jauh lebih luas. Ini adalah kemampuan seseorang untuk berpikir, memahami, memecahkan masalah, dan beradaptasi dengan lingkungan. Jadi, orang yang bisa cepat tanggap, punya empati, dan bisa cari solusi saat situasi berubah itu juga termasuk cerdas.
Jadi, kalau kita bandingkan mahasiswa dan AI, pertanyaannya bukan cuma siapa yang lebih cepat atau lebih pintar secara teknis. Tapi juga siapa yang bisa berpikir kritis, memahami konteks, dan berempati. Karena jadi cerdas itu bukan cuma soal otak, tapi juga soal hati dan cara kita melihat dunia.
Salah satu kekuatan utama AI adalah kecepatannya. Nggak perlu begadang semalaman buat nyusun tulisan atau nyari referensi. AI bisa bantu kita menyusun kalimat yang sangat rapi, bebas typo, dan sesuai struktur akademik. Selain itu, AI juga konsisten nggak ada mood swing kayak manusia. Karena terhubung ke banyak sumber informasi, AI bisa kasih jawaban yang luas dan mendalam dalam waktu singkat.
Secanggih-canggihnya AI, ia tetap punya batasnya.AI nggak memiliki perasaan,dan intuisi. AI nggak bisa “merasakan” atau memahami maksud dari sebuah pertanyaan. Misalnya, kalau kita nulis puisi tentang kehilangan, AI bisa bantu bikin kata-kata indah, tapi belum tentu ia bisa menangkap emosi di baliknya. AI juga nggak paham konteks budaya,pengalaman hidup yang membentuk cara berpikir manusia. Jadi, meskipun AI terlihat pintar, kecerdasannya beda jauh dari manusia yang selalu berpikir kritis,berempati,dan lebih memahami dunia secara mendalam dan AI tetap butuh sentuhan manusia untuk bikin sebuah karya yang bermakna.
Sekarang AI udah jadi bagian dari kehidupan mahasiswa. Bisa bantu nulis tugas, nyusun presentasi, bahkan jawab soal. Tapi pertanyaannya, mahasiswa harus saingan sama AI atau kerja bareng? Menurut beberapa ahli, kayak Ariq Arrahman dari Kompasiana, AI itu bukan buat gantiin manusia, tapi buat bantu proses belajar jadi lebih gampang dan sesuai kebutuhan. Tapi supaya nggak salah pakai, mahasiswa juga harus ngerti cara pakai AI dengan bijak. Kata Arum Putri Rahayu dari jurnal Educendikia, penting banget punya literasi digital dan etika, biar nggak asal pakai tanpa mikir.
Ke depannya, AI bisa jadi alat bantu yang keren, tapi tetap manusia yang selalu pegang kendali. Jadi, bukan soal siapa yang lebih pintar, tapi gimana kita bisa kerja sama dan saling melengkapi. Kalau kita lihat dari kemampuan teknis, AI memang sangat luar biasa. Bisa nulis dengan sangat cepat, jawab soal, dan ngolah data tanpa lelah. Tapi tetap kecerdasan manusia itu lebih lengkap nggak cuma soal logika, tapi juga soal perasaan, kreativitas, dan cara memahami dunia.
Makanya, sangat penting buat mahasiswa pakai AI dengan bijak. Boleh banget dibantu teknologi, tapi jangan sampai lupa buat tetap berpikir sendiri, bertanya, dan menggali makna di balik informasi. Karena pada akhirnya, AI bisa kasih jawaban, tapi cuma manusia yang bisa nanya “kenapa?”












































