Jakarta – Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla (JK), memberi masukan penting dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Badan Legislasi DPR yang membahas revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam forum itu, JK menekankan bahwa akar konflik Aceh bukan soal syariat, melainkan ketimpangan ekonomi.
“Banyak orang katakan masalah syariat, tidak. Di MoU (Helsinki) kata syariat tidak ada. Intinya Aceh itu masalah ketidakadilan ekonomi,” kata JK di Kompleks Parlemen, Kamis (11/9/2025).
JK mencontohkan, Aceh memiliki cadangan gas dan minyak bumi melimpah, tetapi sebagian besar pekerja didatangkan dari luar daerah sehingga masyarakat Aceh tidak merasakan manfaat yang adil. “Itu yang kemudian melahirkan ketidakpercayaan dan konflik,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, JK juga meminta agar dana otonomi khusus (otsus) Aceh yang seharusnya berakhir tahun ini diperpanjang. Menurutnya, dana sekitar Rp100 triliun yang sudah digelontorkan selama 20 tahun terakhir perlu ditambah beberapa tahun lagi demi menutup ketertinggalan Aceh dibanding daerah lain di Sumatera.
“Karena ekonomi Aceh termasuk yang tertinggal dibanding Sumatera, maka wajar juga dana otsus itu ditambah 5 tahun atau berapa tahun lagi supaya kehidupan rakyat Aceh setara dengan daerah lain,” kata JK.
JK pun mengingatkan DPR agar revisi UU Pemerintahan Aceh tidak bertentangan dengan MoU Helsinki 2005 yang menjadi dasar perdamaian di Aceh. Ia menekankan revisi boleh dilakukan, tetapi harus tetap mengutamakan kesejahteraan rakyat Aceh.
Selain itu, JK menyinggung masih ada dua poin dalam MoU Helsinki yang belum tuntas hingga kini, yakni soal lahan untuk eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan penggunaan bendera Aceh.
“Dua hal itu masih pending. Pertama soal lahan, sudah ditawarkan tapi banyak eks kombatan menolak. Kedua soal bendera, di MoU disebut tak boleh gunakan lambang GAM, tapi aturan pengganti juga belum jelas,” jelas JK.
Meski begitu, JK menegaskan sebagian besar isi perjanjian Helsinki sudah dijalankan. Beberapa poin yang belum terealisasi, kata dia, lebih karena berbenturan dengan aturan nasional, seperti pengelolaan bandara dan pelabuhan oleh pemerintah daerah. (*)