JAKARTA | Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, Muhammad Jusuf Kalla atau JK, menghadiri rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Badan Legislasi (Baleg) DPR, Kamis (11/9). Agenda rapat tersebut membahas revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 hasil usulan DPR dan DPD.
Dalam pembahasan itu, sejumlah poin revisi mengemuka, di antaranya mengenai penegasan kewenangan Aceh agar tidak tumpang tindih dengan pemerintah pusat, evaluasi terhadap Qanun APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh), sistem pajak daerah, hingga pengelolaan sumber daya alam termasuk karbon.
JK dalam paparannya lebih banyak menyoroti pengalaman Indonesia menghadapi konflik di berbagai daerah pasca kemerdekaan. Ia menyebut setidaknya ada 15 konflik besar yang pernah terjadi, mulai dari pemberontakan Madiun pada 1948, gerakan DI/TII di Aceh, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan (1949-1962), pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon pada 1950, hingga gerakan PRRI/Permesta (1957-1961). Ia juga mengingatkan peristiwa Gerakan Aceh Merdeka (1976-2005) serta kerusuhan Mei 1998.
Menurut JK, akar persoalan dari konflik-konflik tersebut sebagian besar berhubungan dengan ketidakadilan, baik dalam aspek politik maupun ekonomi. Ia mencontohkan kasus di Poso yang menurutnya dipicu ketidakadilan politik, meski banyak yang menganggapnya persoalan agama. Sementara itu, di Aceh, JK menegaskan konflik panjang yang terjadi sangat erat kaitannya dengan ketidakadilan ekonomi.
“Aceh itu memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, seperti gas dan minyak. Tetapi, apa yang diperoleh masyarakat Aceh sangat kecil dibanding kekayaan yang ada. Maka, terjadilah suatu pikiran yang berakhir dengan konflik negara. Jadi semuanya Aceh itu ketidakadilan ekonomi,” ujar JK dalam forum tersebut.
Ia menekankan, konflik di Aceh tak bisa dilepaskan dari rasa ketidakpuasan masyarakat yang melihat hasil kekayaan daerahnya lebih banyak dinikmati pihak lain dibanding penduduk lokal. Pandangan itu, kata JK, menjadi latar belakang penting dalam memahami dinamika politik dan ekonomi Aceh yang kini kembali dibicarakan dalam revisi UU Pemerintahan Aceh.
Keberadaan UU PA sendiri merupakan turunan dari Nota Kesepahaman Helsinki yang menandai berakhirnya konflik bersenjata di Aceh pada 2005. Revisi yang sedang dibahas di DPR dinilai strategis untuk memastikan kewenangan Aceh tetap berjalan sesuai perjanjian damai, sekaligus menjawab tantangan baru, terutama soal pengelolaan sumber daya alam, fiskal daerah, dan hubungan Aceh dengan pemerintah pusat.
Dengan sorotan JK tersebut, pembahasan revisi UU PA di Baleg DPR diperkirakan akan berlangsung alot. Hal ini karena menyangkut keseimbangan antara menjaga otonomi khusus Aceh dengan tetap menempatkannya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. (*)