JAKARTA | Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada bukti kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998 memicu gelombang kemarahan di berbagai kalangan. Dalam wawancara yang tayang pada 9 Juni 2025, Fadli menyebut isu pemerkosaan massal terhadap perempuan saat kerusuhan Mei 1998 hanya sebatas rumor yang tidak pernah tercatat dalam buku sejarah.
“Fakta-fakta itu tidak ada dalam sejarah resmi,” ujar Fadli. Ia bahkan menegaskan bahwa narasi mengenai pemerkosaan massal terhadap perempuan, khususnya dari etnis Tionghoa, tidak bisa dibuktikan secara sahih dan karenanya tak layak dimasukkan ke dalam memori sejarah nasional.
Pernyataan ini langsung menyulut perdebatan sengit di ruang publik. Aktivis reformasi, pegiat hak asasi manusia, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil mengecam pernyataan tersebut. Mereka menilai Fadli Zon sedang melakukan pengingkaran terhadap sejarah kelam bangsa dan berusaha menghapus jejak pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi.
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas merespons keras pernyataan Fadli Zon. Mereka menyebutnya sebagai bentuk manipulasi sejarah, pelecehan terhadap korban, serta upaya sistematis untuk menutupi kebenaran atas kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi dalam Peristiwa Mei 1998.
Dalam pernyataan resmi, koalisi menyampaikan bahwa sikap Fadli mencederai perjuangan para korban dan bertentangan dengan semangat pengungkapan kebenaran. Mereka mengingatkan bahwa kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 adalah fakta yang telah diakui secara resmi oleh negara melalui laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
TGPF yang dibentuk Presiden BJ Habibie pada Juli 1998 mencatat adanya 85 korban kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, pemerkosaan disertai penganiayaan, dan pelecehan seksual. Korban-korban tersebut, sebagian besar dari etnis Tionghoa, mengalami kekerasan secara brutal, bahkan dalam banyak kasus dilakukan secara beramai-ramai. Laporan resmi TGPF diterbitkan pada 23 Oktober 1998.
Komnas Perempuan yang dibentuk lewat Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 juga mendokumentasikan berbagai bentuk kekerasan berbasis gender dan etnis selama dan sesudah peristiwa tersebut. Fakta-fakta tersebut menjadi dasar lahirnya lembaga-lembaga negara yang berfokus pada isu keadilan dan pemulihan korban.
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menilai pernyataan Fadli tidak hanya mengingkari sejarah, tetapi juga menunjukkan tidak adanya empati terhadap korban. Menurutnya, Fadli yang selama ini dikenal sebagai pembela Orde Baru, tengah berhalusinasi dan mengarang narasi sejarah sesuai kepentingan politik.
Hendardi juga mengkritik proyek penulisan ulang sejarah yang saat ini tengah dijalankan oleh kementerian yang dipimpin Fadli. Ia khawatir proyek tersebut akan menjadi kendaraan untuk membelokkan narasi sejarah sesuai kepentingan rezim yang berkuasa. Ia menyebut bahwa narasi-narasi yang disampaikan Fadli selama ini cenderung manipulatif, sensasional, dan tidak berdasar.
Desakan agar Fadli Zon mencabut ucapannya dan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka pun menguat. Koalisi masyarakat sipil menegaskan bahwa bangsa ini tidak boleh melupakan atau menutup mata terhadap sejarah kelam yang pernah terjadi, apalagi dengan menghapusnya dari narasi resmi negara.
Sejarawan dan aktivis perempuan Ita Fatia Nadia juga memberikan tanggapan keras. Ia menilai bahwa pernyataan Fadli merupakan dusta terang-terangan. Ita yang pernah menjadi bagian dari Tim Relawan Kemanusiaan saat era Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa dirinya dan relawan lainnya kewalahan menangani banyaknya korban pemerkosaan pada Mei 1998 di Jakarta.
Menurut Ita, tugas seorang menteri seharusnya adalah memulihkan ingatan kolektif bangsa, bukan justru mengingkari dan menegasikan trauma korban. Ia meminta Fadli untuk meminta maaf secara terbuka kepada para korban yang hingga kini masih hidup dalam tekanan dan luka mendalam.
Koalisi sipil mengingatkan bahwa sejarah bangsa tidak boleh dibangun di atas pengingkaran terhadap luka kolektif. Mereka menyerukan kepada masyarakat, akademisi, komunitas korban, dan media untuk terus mengawal narasi sejarah nasional agar tidak jatuh ke dalam revisi yang menyesatkan. (*)