Laporan Investigasi
Baranews, Aceh Tenggara – Di bawah terik matahari Kamis pagi, 22 Mei 2025, suara mesin alat berat bergema di Desa Kutacane Lama, Kecamatan Babussalam, Aceh Tenggara. Tanah pekarangan rumah yang dihuni selama puluhan tahun oleh keluarga Elfitra Irwan mulai digusur perlahan, diiringi dengan suara jeritan warga dan protes yang menggema. Di sinilah ricuh pecah—di tengah eksekusi lahan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Kutacane.
Eksekusi lahan dan rumah ini bukan hanya soal implementasi hukum. Ia berubah menjadi simbol tarik-menarik antara rasa keadilan warga dan kekuatan hukum formal yang dianggap kaku oleh sebagian pihak. Narasi warga, aparat, pengadilan, dan kelompok masyarakat pun bertabrakan di satu titik yang sama: tanah yang disengketakan.
Eksekusi dilakukan atas dasar putusan pengadilan dengan nomor perkara 15/Pdt.G/2021/PN Ktn. Proses hukum disebut telah melalui tahapan banding dan kasasi, dan kini berkekuatan hukum tetap. Namun, sebagian besar warga, termasuk Elfitra, tidak menerima putusan tersebut. Mereka mengklaim sebagai ahli waris sah yang tidak pernah menjual lahan kepada pihak manapun.
“Tanah ini milik orang tua kami. Kami tidak pernah menjualnya. Tapi tiba-tiba muncul akta jual beli. Tanda tangan saya diduga dipalsukan. Ini bentuk perampasan hak,” ujar Elfitra.
Warga sempat menghadang alat berat dan membentuk barikade manusia di depan rumah yang hendak dieksekusi. Pagar jebol akibat dorongan massa, dan beberapa orang terluka dalam bentrokan. Aparat kepolisian akhirnya mengamankan satu orang yang diduga memprovokasi kericuhan.
Elfitra menjelaskan bahwa ia pernah memberikan surat kuasa terbatas kepada seseorang bertahun-tahun lalu. Namun surat tersebut, menurutnya, diduga disalahgunakan untuk menjual lahan tanpa sepengetahuannya. Nama dan tanda tangannya muncul dalam dokumen jual beli yang kini menjadi dasar pelaksanaan eksekusi.
Situasi ini menimbulkan dugaan kuat adanya praktik mafia tanah. Beberapa pihak mencurigai pola sistematis berupa manipulasi surat kuasa, pemalsuan dokumen, permainan aktor-aktor administratif, hingga potensi pembiaran oleh lembaga pengawas.
Seorang tokoh masyarakat menyatakan bahwa kasus semacam ini bukan yang pertama di Aceh Tenggara. Ia menilai tanah-tanah strategis di sekitar pusat kota menjadi sasaran oknum-oknum yang diduga terorganisir. “Kami menduga ada sindikat. Proses jual beli yang terjadi tidak wajar dan patut dicurigai,” ujarnya.
Ketua Pengadilan Negeri Kutacane menegaskan bahwa semua proses telah berjalan sesuai prosedur. “Putusan ini sudah inkracht. Kami hanya menjalankan perintah hukum. Soal tudingan pemalsuan dokumen, itu bukan wewenang kami untuk menyelidiki,” ujarnya.
Pihak polres Aceh Tenggara menyatakan bahwa kepolisian bersikap netral dan bertugas menjaga keamanan selama eksekusi berlangsung. “Kami tidak memihak siapapun. Kami hanya mencegah kerusuhan lebih besar. Satu orang kami amankan karena memprovokasi,” katanya.
Kasus ini mendapat atensi dari masyarakat luas. Sejumlah warga dan aktivis telah mengirimkan surat kepada lembaga pemerintah agar turun tangan menyikapi dugaan praktik mafia tanah yang mencederai hak masyarakat kecil.
“Pemerintah harus hadir. Ini bukan hanya soal tanah. Ini soal keadilan dan kepastian hukum. Jika praktik ini dibiarkan, maka rakyat kecil tidak punya perlindungan,” ujar seorang aktivis bantuan hukum yang turut mendampingi keluarga korban eksekusi.
Informasi tambahan menyebut bahwa pengaduan juga telah dikirimkan ke Komisi Yudisial, Ombudsman RI, dan Komisi III DPR RI. Masyarakat berharap agar kasus ini menjadi pintu masuk pembongkaran jaringan mafia tanah yang diduga bermain di daerah tersebut.
Peristiwa ini menegaskan kembali rumitnya persoalan agraria di Indonesia. Di satu sisi, pengadilan mengklaim telah menyelesaikan perkara dengan tuntas. Di sisi lain, warga merasa dipaksa kehilangan hak atas tanah yang mereka warisi secara sah, tanpa pernah menjual atau menyerahkannya.
Kisah ini menyisakan luka dan pertanyaan mendalam: Jika tanah bisa hilang hanya dengan sebuah dokumen yang dipertanyakan keabsahannya, kepada siapa rakyat kecil bisa berharap keadilan? (*)