Jakarta — Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat resmi menahan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Penahanan dilakukan setelah serangkaian pemeriksaan mendalam dan pengumpulan bukti yang mengarah pada adanya indikasi kuat keterlibatan sejumlah pejabat serta pihak swasta dalam pengondisian proyek strategis nasional bernilai hampir satu triliun rupiah.
Dalam keterangan persnya, Kepala Kejari Jakarta Pusat, Safrianto Zuriat Putra, menyampaikan bahwa kelima tersangka berasal dari latar belakang jabatan strategis, baik di instansi pemerintah maupun sektor swasta. “Kelima orang tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka dan kami lakukan penahanan karena dikhawatirkan akan menghilangkan barang bukti atau melarikan diri,” katanya, Kamis (22/5/2025).
Adapun kelima tersangka yang ditahan adalah Semuel Abrizani Pangerapan, yang diketahui menjabat sebagai Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Pemerintahan di Kominfo periode 2016 hingga 2024. Kemudian Bambang Dwi Anggono, mantan Direktur Layanan Aplikasi Informatika Pemerintah di Ditjen Aptika Kominfo untuk periode 2019 sampai 2023. Selain itu, penyidik juga menahan Nova Zanda, yang disebut sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek pengadaan dan pengelolaan PDNS dari tahun 2020 hingga 2024. Dua tersangka lainnya berasal dari kalangan swasta, yakni Ilfi Asman, Direktur Bisnis PT Aplika Nusa Lintas Arta (2014–2023), dan Pini Panggar Agusti, yang menjabat sebagai Account Manager PT Dokotel Teknologi selama periode 2017 hingga 2021.
“Kelima tersangka ini kami duga terlibat dalam praktik pengondisian proyek sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan. Proyek ini semestinya mendukung transformasi digital nasional, tetapi dalam praktiknya diselewengkan demi kepentingan pribadi,” ujar Safrianto.
Tidak hanya penahanan, Kejari Jakpus juga telah menyita sejumlah barang bukti yang diduga berkaitan dengan tindak pidana tersebut. Di antaranya uang tunai senilai Rp1,78 miliar, tiga unit mobil mewah, dan logam mulia seberat 176 gram. “Barang-barang ini kami sita dari tangan para tersangka. Ini baru sebagian, dan masih terus kami telusuri aliran dananya,” sebut Safrianto.
Dalam proses pengungkapan kasus ini, penyidik turut melakukan penggeledahan di sejumlah lokasi penting. Di antaranya kantor Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) di Jalan Medan Merdeka Barat No. 9, kantor PT Pinang Alif Teknologi di Jalan Salemba Raya, sebuah unit apartemen di Jalan Senen Raya, serta kantor PT Docotel yang terletak di kawasan Grand ITC Permata Hijau, Jakarta Selatan.
Menurut Safrianto, akar dari kasus ini bermula sejak diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), yang mengamanatkan pembentukan Pusat Data Nasional (PDN) sebagai fondasi digitalisasi birokrasi. Namun, pada kenyataannya, pada tahun 2019, Kominfo justru membentuk Pusat Data Nasional Sementara yang bertentangan dengan perintah Perpres tersebut. “Mestinya dibentuk PDN yang bersifat permanen dan dikelola negara, tetapi justru dibuat versi sementara yang sarat kepentingan,” katanya.
Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa nomenklatur proyek dalam DIPA tahun 2020 berubah menjadi “Penyediaan Jasa Layanan Komputasi Awan”, yang disebut-sebut tidak sesuai dengan semangat integrasi data nasional secara mandiri. “Ini justru membuat pemerintah sangat tergantung pada pihak swasta dalam pengelolaan data yang seharusnya bersifat strategis dan sensitif,” jelasnya.
Tak hanya itu, dalam proses pelaksanaannya, ditemukan adanya rekayasa dalam pemilihan kontraktor pelaksana proyek. “Ada pengaturan pemenang lelang dan pengkondisian pelaksanaan kegiatan PDNS. Barang yang digunakan dalam layanan PDNS pun tidak memenuhi spesifikasi teknis sebagaimana mestinya,” kata Safrianto.
Menurutnya, praktik ini sengaja dilakukan agar pihak pelaksana proyek bisa mendapat keuntungan besar dengan menurunkan kualitas barang. Keuntungan tersebut kemudian diduga digunakan untuk menyuap para pejabat di Kominfo. “Mereka mencari celah keuntungan, lalu membagi-bagi dalam bentuk suap. Itu sudah kami identifikasi dari keterangan saksi dan dokumen yang kami sita,” sebutnya lagi.
Total nilai proyek PDNS yang dikelola selama lima tahun ini mencapai Rp959.485.181.470. Safrianto merinci bahwa dana itu dikucurkan bertahap, yakni Rp60,3 miliar pada tahun 2020, Rp102,6 miliar pada 2021, Rp188,9 miliar pada 2022, Rp350,9 miliar pada 2023, dan Rp256,5 miliar untuk tahun 2024. Seluruh dana tersebut semestinya dialokasikan untuk membangun sistem pusat data nasional yang aman, andal, dan berdaulat.
Namun kenyataannya, kata Safrianto, proyek tersebut justru dijadikan ajang permainan oleh segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan koneksi di dalam pemerintahan. “Ini sangat disayangkan. Proyek yang seharusnya menopang transformasi digital Indonesia justru dikotori oleh praktik kolusi dan penyalahgunaan wewenang,” tandasnya.
Ia juga menegaskan bahwa penyidikan akan terus berlanjut dan tidak menutup kemungkinan adanya tersangka tambahan. “Kami akan mendalami keterlibatan pihak lain. Ini bukan kerja satu atau dua orang. Sudah ada pola yang kami deteksi,” ujarnya.
Kasus ini menjadi salah satu pengungkapan besar di sektor digital yang mencoreng nama baik institusi dan merugikan keuangan negara dalam jumlah signifikan. Meski saat ini Kominfo telah berubah nama menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), publik tetap menuntut pertanggungjawaban dari para pelaku dan berharap kasus ini bisa dibongkar hingga ke akar-akarnya. (*)