Jakarta | Kejaksaan Agung Republik Indonesia terus memperluas penyidikan dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit jumbo kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), sebuah perusahaan tekstil raksasa yang telah lama menjadi simbol industri garmen nasional. Skandal ini menyeret tiga tokoh utama ke dalam pusaran hukum, yakni Iwan Setiawan Lukminto—mantan Direktur Utama Sritex periode 2005–2022, Zainuddin Mappa—mantan Direktur Utama Bank DKI tahun 2020, serta Dicky Syahbandinata—mantan Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial Bank BJB pada tahun yang sama.
Kredit dalam jumlah besar mengalir ke Sritex meskipun perusahaan itu saat itu tercatat memiliki profil keuangan dengan risiko gagal bayar yang tinggi. Laporan lembaga pemeringkat internasional seperti Moody’s dan Pitch menempatkan Sritex pada kategori BB-, yang secara internasional dikenal sebagai “non-investment grade” atau surat utang yang sangat berisiko. Namun, kredit tetap disalurkan oleh sejumlah bank tanpa kajian risiko yang memadai, sehingga menimbulkan dugaan adanya rekayasa atau penyimpangan prosedur.
“Seharusnya tidak ada bank yang mau memberikan kredit dalam kondisi seperti itu. Apalagi dengan nilai triliunan rupiah. Ini bukan sekadar kelalaian, tapi bisa mengarah pada konspirasi,” ujar Dr. Arief Gunawan, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (22/5).
Kejaksaan Agung telah melakukan penggeledahan terhadap kediaman dan properti milik para tersangka di berbagai kota, termasuk Solo, Jakarta Utara, Bandung, dan Makassar. Dari operasi itu, penyidik menyita sedikitnya 15 unit barang bukti elektronik seperti laptop dan tablet, serta dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan proses pencairan dan pengajuan kredit.
“Kami telah mengamankan sejumlah barang bukti, baik digital maupun fisik, yang kini sedang dianalisis oleh tim. Penyidikan belum berhenti sampai di sini. Kami masih mendalami keterlibatan pihak-pihak lain, termasuk pejabat perbankan lainnya,” kata Dr. Ketut Sumedana, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI, dalam keterangan pers di Gedung Bundar, Jakarta, Selasa (21/5).
Menurut Ketut, negara telah dirugikan sebesar Rp692,9 miliar akibat kredit yang tidak dibayar dan masuk kategori macet. “Total kredit macet dari beberapa bank yang masuk ke Sritex nilainya lebih dari Rp3,58 triliun. Kami meyakini kerugian negara akan terus bertambah seiring berkembangnya proses penyidikan,” lanjutnya.
Keterlibatan mantan petinggi bank seperti Zainuddin Mappa dan Dicky Syahbandinata membuka kemungkinan bahwa proses pencairan kredit ini bukan murni bisnis biasa, melainkan telah dikondisikan sejak awal. Beberapa analis menyebutkan bahwa dalam kasus-kasus serupa, sering kali terjadi tekanan dari luar kepada pejabat bank untuk menyetujui fasilitas kredit dengan cepat.
Prof. Dr. Susi Dwi Harijanti, pakar hukum pidana ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, menganggap kasus ini sebagai bentuk kolusi struktural antara dunia usaha dan sektor perbankan. “Yang paling mencolok dari kasus ini adalah bagaimana sistem perbankan bisa dilumpuhkan oleh kekuatan modal. Ini lebih dari sekadar pidana perorangan. Ada indikasi kuat kejahatan korporasi,” tegas Susi saat diwawancarai secara daring, Kamis (22/5).
Lebih lanjut, Kejagung mengonfirmasi bahwa mereka juga sedang memeriksa dokumen dan alur pencairan kredit dari beberapa bank lain yang memberikan pinjaman kepada Sritex dalam periode 2019–2021. Menurut sumber internal dari kejaksaan, setidaknya terdapat empat bank swasta dan dua bank BUMN yang sedang dalam pantauan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri belum memberikan pernyataan resmi, namun seorang pejabat internal yang tidak ingin disebutkan namanya menyatakan bahwa lembaga tersebut tengah melakukan evaluasi internal terhadap kinerja dan kepatuhan bank-bank terkait.
“Ini bisa menjadi momen penting untuk perbaikan tata kelola kredit korporasi. Kredit dalam jumlah besar tidak boleh hanya berdasarkan relasi bisnis atau tekanan dari elite,” ujar sumber tersebut.
Kejagung menegaskan bahwa pihaknya tidak akan berhenti pada penetapan tiga tersangka awal. Jika ditemukan bukti kuat mengenai keterlibatan petinggi bank lain atau pihak-pihak eksternal yang memiliki pengaruh dalam proses pencairan kredit, mereka akan segera dipanggil dan diproses sesuai hukum yang berlaku.
Kasus ini tidak hanya menjadi cermin tentang bagaimana sistem bisa disalahgunakan oleh kekuasaan dan modal, tetapi juga menjadi alarm keras bagi sektor perbankan dan pengawasan keuangan di Indonesia. Publik menaruh harapan besar agar penanganan perkara ini bisa menjadi pintu masuk untuk membersihkan praktik busuk yang mungkin sudah lama berakar dalam dunia perbankan nasional. (*)