Medan — Praktik “tangkap lepas” yang selama ini dihantui dugaan tetapi sulit dibuktikan, kembali membuka borok penegakan hukum di tubuh Polri. Seorang bandar narkotika berinisial AW yang ditangkap dalam operasi di kawasan Medan Johor pada Juli lalu, dibebaskan tanpa proses hukum tuntas. Penangkapan disebut-sebut dilakukan oleh tim Satuan Reserse Narkoba Polres Aceh Tenggara dalam rangka pengembangan kasus narkoba lintas provinsi. Tapi alih-alih diproses secara hukum, sang bandar justru sempat dibawa ke hotel—bukan ke kantor polisi.
Informasi dihimpun dari laporan Posmetro Medan, menyebutkan, AW ditangkap setelah polisi mengendus aktivitas jaringannya dalam distribusi sabu dari Sumatera Utara ke Aceh Tenggara. Operasi tersebut dipimpin langsung oleh Kasat Narkoba Polres Aceh Tenggara, Iptu Yose Rizaldi. Namun yang terjadi setelahnya justru mencurigakan. Bukannya diserahkan ke kejaksaan untuk proses hukum, AW malah diboyong ke sebuah hotel di daerah Kesawan, Kecamatan Medan Barat.
Ya, hotel. Bukan ruang tahanan. Bukan rumah tahanan negara. Hotel. Sebuah tempat inap yang dalam praktik penegakan hukum mestinya tidak memiliki peran apa pun.
Setelah “menginap” di hotel, AW kemudian dibawa ke RS Bhayangkara Medan dengan dalih mengalami gangguan kesehatan. Setelah itu, kabarnya, ia dilepaskan begitu saja. Tak ada berita acara pemeriksaan lengkap, tak ada pengumuman resmi soal status hukumnya, dan tentu saja—tak ada proses hukum lanjutan. AW menghilang dari radar sistem peradilan tanpa jejak.
Seorang sumber internal kepolisian yang mengetahui detail operasi ini menyebut tindakan itu sebagai bentuk penyimpangan prosedur. “Dalam kasus narkotika, tidak ada alasan bagi aparat untuk melepas tersangka di tengah proses penindakan,” katanya, Sabtu, 19 Oktober 2025. “Setiap penangkapan wajib disertai berita acara, pemeriksaan resmi, serta pelimpahan ke kejaksaan, tidak bisa main lepas begitu saja.”
Pelanggaran semacam ini jelas mengarah ke penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hukum yang serius. Pasal 421 KUHP menyatakan bahwa pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara tidak sah dapat dipidana. Bahkan, jika terbukti adanya pemberian imbalan atau gratifikasi untuk membebaskan AW, maka dapat dijerat dengan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Praktik “tangkap lepas” selama ini dikenal sebagai modus kotor di balik layar pemberantasan kejahatan kelas berat. Dalam banyak kasus, tangkapan disorot sebagai bagian dari pencitraan, namun di balik itu, permainan uang dan tekanan certain pihak membuat tersangka ‘dipaketkan’ keluar lewat celah hukum. Penangkapannya diumumkan, tapi pelepasannya disembunyikan.
Tidak hanya berpotensi pidana, pelanggaran seperti ini juga dapat menyeret oknum aparat ke meja etik. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Disiplin Anggota Polri, tindakan non-prosedural bisa dijatuhi sanksi berat, mulai dari mutasi hingga pemberhentian dengan tidak hormat.
Pengamat hukum pidana dari Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Dr. Hermansyah, menilai situasi ini mencerminkan adanya sistem pengawasan internal yang lemah dalam institusi penegak hukum. “Kalau aparat bisa tangkap dan lepas pelaku sesuka hati tanpa kontrol prosedur, artinya reformasi hukum kita mundur ke titik nol,” kata Hermansyah.
Ia juga menilai praktik seperti ini justru membuka jalan lapang bagi jaringan narkoba untuk terus bertumbuh subur tanpa rasa takut. “Yang ditangkap bukan pelaku utama. Yang dibiarkan kabur justru bandarnya. Kalau ini dibenarkan, maka selamanya kita hanya berkutat pada level pengguna, bukan pemberantas jaringan besar.”
Hingga berita ini diturunkan, belum ada satu pun pernyataan terbuka dari Polres Aceh Tenggara maupun Polda Aceh. Publik pun bertanya-tanya: apakah ini hanya fenomena gunung es dari praktik tangkap lepas lainnya? Atau ada tangan-tangan berpengaruh yang bermain dalam sunyi?
Desakan pun mengalir dari berbagai pihak agar Propam Mabes Polri segera turun tangan. Investigasi menyeluruh harus dilakukan untuk mengungkap seluruh oknum yang terlibat dalam operasi janggal ini. Jika ditemukan unsur pidana, bukan hanya etik, maka sudah semestinya dibawa ke meja hijau. Hukum tak boleh tunduk pada seragam, apalagi pada uang.
Masyarakat punya harapan sederhana: jika ada kejahatan, hukum ditegakkan. Tapi jika hukum bisa diabaikan demi pertemuan di hotel dan selembar surat bebas sakit, maka kita sedang melangkah di negeri yang keadilan bisa dinegosiasikan—dan kejahatan hanya soal siapa yang dibayar lebih tinggi. (TIM)