Subulussalam – Masa transisi kepemimpinan dari Wali Kota Subulussalam sebelumnya, H. Affan Alfian Bintang, S.E, kepada pemimpin baru H. Rasyid Bancin mulai memperlihatkan sejumlah persoalan yang selama ini tersimpan rapat di tataran pemerintahan kampong. Di Kecamatan Rundeng, konflik pengelolaan anggaran desa satu per satu mulai mencuat ke permukaan, memunculkan keprihatinan di tengah masyarakat yang selama ini hanya bisa bertanya-tanya ke mana arah dan nasib dana publik yang seharusnya menjadi hak mereka.
Pada Kamis (24/7/2025), Sabirin Siahaan, salah seorang tokoh masyarakat, secara terbuka menyampaikan apresiasinya terhadap langkah tegas Camat Rundeng, T. Ridwan Saidi, yang dianggap berani dan konsisten menelusuri serta menyelesaikan konflik anggaran di berbagai kampong di wilayah kerjanya. Sabirin menilai, apa yang dilakukan camat bukan semata-mata tugas administratif, melainkan bentuk integritas yang lahir dari kesadaran etis seorang pejabat publik dalam menjaga amanah rakyat.
Beragam temuan yang dihadapi camat saat ini mencerminkan betapa kompleks dan dalamnya persoalan tata kelola keuangan di sejumlah kampong. Mulai dari dugaan raibnya Dana Ketahanan Pangan, penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang mandek selama beberapa bulan, hingga pelaporan dan penyetoran pajak daerah maupun pajak negara dari proyek dan kegiatan pengadaan yang terkesan diabaikan. Semuanya kini menjadi bagian dari beban penyelesaian yang dipikul oleh camat.
Dalam konteks hukum dan etika pemerintahan, persoalan ini tidak bisa dianggap sepele. Banyaknya pelanggaran sumpah jabatan yang seharusnya menjadi fondasi dalam mengemban amanah publik menjadi ironi tersendiri. Tidak sedikit para kepala kampong yang saat dilantik menjunjung kitab suci Alqur’an dan menyebut nama Allah SWT, namun kemudian dalam praktiknya justru mengabaikan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sumpah tersebut. Ini mencerminkan bahwa bagi sebagian orang, sumpah hanya sebatas seremonial belaka, bukan komitmen sejati.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh para pelaku pun beragam dan sering kali terdengar tidak logis. Ada yang menyebut dana terpakai karena kebutuhan mendesak, ada pula yang terang-terangan mengakui penggunaan dana untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Semua ini, menurut Sabirin, menunjukkan adanya krisis tanggung jawab moral di kalangan aparatur kampong yang semestinya menjadi pelayan masyarakat.
Di tengah situasi tersebut, kehadiran sosok T. Ridwan Saidi sebagai camat yang tidak terjebak dalam praktik transaksional patut diapresiasi. Langkahnya yang dianggap sebagian kalangan seperti “berlagak KPK” justru menunjukkan komitmen untuk memulihkan tata kelola pemerintahan kampong yang telah lama tercoreng. Ia memilih tidak menjadi fasilitator atau perantara pencairan dan pemungutan dana desa secara ilegal, melainkan fokus pada upaya pelurusan dan pembenahan sistem yang selama ini bermasalah.
Sabirin menilai bahwa ketegasan seperti itulah yang saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat. “Saya pribadi dan atas nama masyarakat di beberapa kampong yang terdampak konflik dana desa, menyampaikan apresiasi kepada camat Rundeng. Ketegasannya adalah harapan baru bagi warga yang sudah lama merasa dirugikan,” ujar Sabirin.
Dalam pandangannya, langkah camat yang berani dan tidak kompromi terhadap penyimpangan dana desa bukan hanya menyelesaikan konflik teknis anggaran, tetapi juga menjadi simbol bahwa pemerintahan bisa dijalankan secara bersih, transparan, dan sesuai dengan amanat peraturan yang berlaku.
Langkah T. Ridwan Saidi juga menjadi contoh bahwa penyelesaian konflik anggaran desa tidak selalu harus melalui jalur represif atau pidana, tetapi bisa dimulai dengan keberanian administratif dan keberpihakan kepada masyarakat kecil. Sebab pada akhirnya, yang paling terdampak dari kelalaian dan penyimpangan ini adalah masyarakat kampong itu sendiri.
(Laporan: Tim Bara News)