Republik yang Dirampok dari Dalam

Redaksi Bara News

- Redaksi

Rabu, 22 Oktober 2025 - 05:04 WIB

5079 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penulis: Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)

Puisi Republik Bandit bukan sekadar karya sastra. Ia adalah jerit batin bangsa yang muak. Baris-barisnya menggema dari ruang tamu rakyat sampai ke ruang sidang kekuasaan bahwa
“Ada bandit kuasai eksekutif, ada bandit kuasai legislatif, ada bandit kuasai lembaga hukum.”
Dalam satu napas, penyair menelanjangi penyakit lama republik ini, penyakit yang tak kunjung sembuh meski obatnya sudah lama kita tahu yakni moral dan keberanian.

Kita hidup di negeri yang paradoksal. Perekonomian tumbuh di atas kertas, tapi kemiskinan tetap jadi pemandangan harian. Infrastruktur megah dibangun, tapi korupsi di belakangnya menggerogoti anggaran. Indonesia tampak seperti rumah besar yang atapnya berkilau, tapi fondasinya keropos oleh rayap yang berseragam.

Setiap tahun, republik ini menanggung kerugian akibat korupsi yang tak terbayangkan. Data Indonesia Corruption Watch menunjukkan, sepanjang 2024, kerugian negara akibat korupsi mencapai lebih dari Rp54 triliun. Kasus mega korupsi di sektor energi dan pertambangan, seperti PT Timah yang ditaksir merugikan negara Rp300 triliun dan Pertamina hingga hampir Rp1.000 triliun adalah contoh brutal bagaimana uang rakyat dirampok secara sistematis.

Laporan Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat 115 dunia dalam Indeks Persepsi Korupsi 2024, turun dari tahun sebelumnya. Angka itu tidak hanya statistik. Ia adalah cermin dari sebuah bangsa yang gagal menegakkan etika di atas kekuasaan.

Kita menyaksikan pejabat publik bicara tentang integritas di pagi hari, lalu menandatangani kontrak gelap di malam hari. Lembaga hukum membanggakan diri sebagai penjaga keadilan, tetapi sering kali menjadi pagar besi yang melindungi bandit berkedok pejabat.

Dalam lanskap yang membusuk ini, muncul sosok Purbaya Yudhi Sadewa, seorang ekonom yang kini memimpin Kementerian Keuangan dengan gaya yang tak biasa. Lugas, keras kepala, dan, dalam beberapa hal, terlalu jujur untuk ukuran birokrasi yang terbiasa dengan basa-basi.

Langkah Purbaya mengaudit ulang berbagai pos keuangan negara dan memeriksa aliran dana lintas kementerian segera mengguncang sarang bandit. Mereka yang selama ini nyaman di balik angka-angka fiktif mendadak gelisah. Serangan balik datang cepat berupa fitnah di media, pembunuhan karakter, bahkan teror terhadap keluarganya.

Fenomena ini menunjukkan satu hal bahwa di republik yang telah lama disandera oleh oligarki, kejujuran adalah bentuk perlawanan. Purbaya mungkin tidak sempurna, tetapi keberaniannya membongkar busuknya sistem fiskal menunjukkan bahwa masih ada sedikit cahaya di lorong gelap kekuasaan.

Namun, sejarah Indonesia juga mengajarkan bahwa orang-orang seperti Purbaya sering kali berakhir sendirian. Sistem yang korup selalu lebih pandai melindungi dirinya ketimbang melindungi kebenaran.

Para pendiri republik ini pernah mengingatkan bahwa kemerdekaan tanpa keadilan hanyalah bentuk baru dari penjajahan. Bung Karno menyebutnya “kemerdekaan yang setengah hati.”
Dan kini, tujuh dekade setelah proklamasi, penjajahan itu datang bukan dari luar, tapi dari dalam, dari pejabat yang menjual kedaulatan fiskal, dari birokrat yang menjadikan jabatan sebagai ladang keluarga, dari legislator yang lebih sibuk menghitung “komisi” ketimbang memikirkan konstituennya.

Kita telah menjadi republik bandit bukan karena tak punya hukum, tapi karena hukum dijalankan oleh mereka yang menjadikan moral sebagai barang tawar. Ketika penguasa lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan martabat, maka negara kehilangan jiwanya.

Secara filosofis, nasionalisme seharusnya berpijak pada tanggung jawab moral bahwa kesetiaan pada rakyat, bukan pada kekuasaan. Nasionalisme bukan slogan kosong di hari kemerdekaan, melainkan tindakan sehari-hari untuk menegakkan keadilan sosial.
Namun nasionalisme kita kini tereduksi menjadi ritual, dimana upacara bendera tanpa kesadaran, pidato heroik tanpa tindakan.

Padahal, bangsa yang besar bukan bangsa yang paling kaya, tapi bangsa yang paling jujur. Jepang, Korea, dan Singapura membuktikan hal itu. Mereka membangun ekonomi dengan etos, bukan tipu daya. Di Indonesia, justru semakin tinggi jabatan, semakin tebal tirai antara pejabat dan nuraninya.

Puisi Republik Bandit mengakhiri seruannya dengan nada perlawanan “Cari, temukan bandit, dan selesaikan secara kesatria.”
Kesatria di sini bukan berarti amuk massa atau revolusi berdarah. Kesatria adalah keberanian untuk jujur di tengah kebohongan, menolak sogokan ketika semua orang menerimanya, dan bersuara saat yang lain memilih diam.

Karena musuh terbesar republik ini bukan bandit bersenjata, melainkan rakyat yang terbiasa menutup mata.

Kita tidak bisa terus bergantung pada figur semacam Purbaya untuk membersihkan lumpur sistemik. Perlawanan terhadap bandit harus menjadi gerakan moral kolektif yang bergerak di meja birokrasi, di kampus, di pasar, di ruang redaksi, di setiap keputusan kecil yang menolak kompromi terhadap kebusukan.

Sejarah republik ini adalah sejarah keberanian. Dari pemuda 1928 hingga pejuang 1945, mereka tidak takut pada senjata kolonial. Kini, tantangan kita bukan lagi penjajah asing, tapi penjajahan moral oleh bangsa sendiri.

Dan barangkali benar, sebagaimana pesan puisi itu, negeri ini akan kembali bersimbah darah bandit dan pengkhianat, bukan oleh peluru, tetapi oleh amuk kesadaran rakyat. Karena setiap kali republik ini dirampok dari dalam, rakyatlah yang akan menagihnya kembali, dengan harga yang mahal berupa kebenaran.

Republik ini masih bisa diselamatkan. Tapi waktunya tak lama. Kita harus memilih, tetap menjadi bangsa penonton yang bertepuk tangan di tengah perampokan, atau kembali menjadi kesatria yang menjaga rumahnya sendiri.

Berita Terkait

Puluhan Karyawan Cleaning Service RSUD SIM Melaksanakan Kegiatan Rutinitas Untuk Menjaga Kebersihan
Aceh di Persimpangan Tambang: Lepas dari Mulut Buaya, Diterkam Mulut Harimau
Bupati TRK: Doktrin Karya Kekaryaan Berkontribusi Nyata Bagi Kemajuan Indonesia
Ampon Bang: TRK Kandidat Kita untuk Pimpin GOLKAR Aceh
Pengurus RAPI Nagan Raya Apresiasi RSUD SIM Nagan Raya Atas Pelayanan Kebersihan 24 Jam.
Ketua MKGR Nagan Raya T. Jamalul Alamuddin Ingatkan Warga Waspadai Banjir
Brimob Batalyon C Pelopor Gelar Khanduri Maulid Wadanyon Berikan Santunan Anak Yatim
Fenomena Purbaya: Kejujuran di Tengah Negara yang Tersesat Arah

Berita Terkait

Rabu, 22 Oktober 2025 - 06:52 WIB

Purbaya Siap Tangkap Mafia Perdagangan, Targetkan Penyelundupan dan Under Invoicing

Rabu, 22 Oktober 2025 - 06:12 WIB

Menkeu Purbaya Muncul sebagai Idola Baru Politik, Gaya Koboi dan Sikap Tegasnya Dinilai Jadi Ancaman bagi Praktik Usang

Rabu, 22 Oktober 2025 - 05:34 WIB

Purbaya Tampil Bersahaja dan Tegas, Gibran dan Dedi Mulyadi Kian Redup di Panggung Politik Nasional

Selasa, 21 Oktober 2025 - 09:02 WIB

BNN dan PWI Perkuat Kolaborasi dalam Perang Melawan Narkoba

Selasa, 21 Oktober 2025 - 07:51 WIB

Puluhan Pabrik di Kawasan Industri Banten Tercemar Radiasi Cs-137, Pemerintah Telusuri Sumber Paparan Berbahaya

Selasa, 21 Oktober 2025 - 05:19 WIB

AMPG Konsultasi ke Polda Metro, Siapkan Laporan Terkait Dugaan Serangan terhadap Ketum Golkar Bahlil Lahadalia

Senin, 20 Oktober 2025 - 12:14 WIB

Presiden Prabowo Tegaskan Komitmen Lawan Korupsi dalam Penyerahan Rp13 Triliun Uang Pengganti Negara

Senin, 20 Oktober 2025 - 11:59 WIB

Kejagung Serahkan Rp13 Triliun Uang Korupsi CPO ke Negara

Berita Terbaru