Fenomena Purbaya: Kejujuran di Tengah Negara yang Tersesat Arah

Redaksi Bara News

- Redaksi

Minggu, 19 Oktober 2025 - 10:32 WIB

50273 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)

Indonesia tampak semakin kehilangan arah dalam mengelola rumah besarnya sendiri. Di tengah gegap gempita pembangunan dan jargon pertumbuhan ekonomi, kita justru menyaksikan negara yang seolah “salah urus”. Benang kusut kebijakan publik yang tidak sinkron, tumpang tindih regulasi, dan tata kelola keuangan negara yang amburadul, mencerminkan betapa lemahnya arah kepemimpinan yang berlandaskan akuntabilitas dan moral publik.

Dari sektor hukum hingga birokrasi fiskal, gejalanya seragam yakni negara tampak dikuasai oleh kartel kepentingan, bukan lagi oleh nurani kebangsaan. Keadilan menjadi barang mewah, hanya dapat diakses oleh mereka yang punya koneksi dan kapital. Lembaga-lembaga penegak hukum kerap beroperasi layaknya pedagang jasa hukum, bukan pengawal keadilan. Sementara rakyat, yang setia membayar pajak dan menanggung beban hidup yang terus naik, hanya menjadi penonton dalam drama kemerosotan moral institusi negara.

Dalam situasi itulah muncul sosok Purbaya, Menteri Keuangan yang dikenal ceplas-ceplos, lugas, dan berani menyentuh akar persoalan keuangan negara. Gaya bicaranya yang terbuka, kadang dianggap tidak diplomatis, tapi sesungguhnya adalah cermin kegelisahan publik yang lama terpendam. Ia bukan sekadar bicara soal angka dan defisit, melainkan tentang integritas dan pengelolaan uang rakyat yang kian jauh dari asas transparansi.

Berbicara Apa Adanya di Tengah Budaya Pura-pura

Sosiolog Robert Bellah dalam Habits of the Heart menulis bahwa masyarakat yang kehilangan orientasi moral publik cenderung memusuhi kejujuran yang mengganggu kenyamanan status quo. Fenomena itulah yang kini dialami Indonesia. Ketika Purbaya membuka tabir bobroknya pengelolaan keuangan negara, sebagian elite justru menudingnya “tidak etis”, “pencitraan”, atau “terlalu ikut campur”.

Padahal, dalam sistem yang sehat, kritik internal pejabat publik seharusnya menjadi mekanisme self-correction negara. Namun di Indonesia, kejujuran pejabat sering dianggap pengkhianatan terhadap koleganya sendiri.

Data dari Transparency International (2024) menunjukkan indeks persepsi korupsi Indonesia stagnan di angka 34, tidak bergerak signifikan dalam lima tahun terakhir. Sementara laporan BPK semester I tahun 2025 mencatat potensi kerugian negara mencapai Rp72 triliun akibat penyimpangan pengelolaan keuangan di berbagai instansi pusat dan daerah. Angka-angka itu bukan sekadar statistik, ia menggambarkan betapa parahnya penyakit struktural yang coba dibedah Purbaya.

Fenomena Purbaya sesungguhnya memperlihatkan betapa bangsa ini sedang terjangkit rabun kebenaran, tidak mampu lagi membedakan mana yang tulus, mana yang pura-pura. Setiap narasi kejujuran dianggap “tidak santun”, setiap upaya reformasi dianggap “mengganggu harmoni”, dan setiap pejabat yang berani bicara benar diposisikan sebagai “musuh bersama”.

Dalam konteks sosiologi politik, fenomena ini serupa dengan yang disebut Hannah Arendt sebagai “banality of evil”, situasi ketika kejahatan menjadi biasa karena dilakukan secara sistematis oleh birokrasi yang kehilangan nurani.

Masyarakat pun akhirnya terbiasa hidup dalam paradoks: menyalahkan sistem, tetapi takut pada perubahan. Kita mengeluh soal korupsi, tapi memusuhi pejabat yang berani melawannya. Kita menuntut transparansi, tapi mencemooh keberanian yang menyingkap tabir busuk di baliknya.

Purbaya mungkin bukan sosok sempurna. Ia bisa salah dalam diksi, bisa keliru dalam retorika. Tapi keberaniannya berbicara jujur di tengah budaya kepura-puraan birokrasi adalah oase langka. Ia mengingatkan kita pada pesan klasik Albert Camus bahwa “Kebebasan sejati adalah berbicara kebenaran, meski dunia membencimu karenanya.”

Pertanyaannya kini, apakah bangsa ini masih memiliki ruang bagi kejujuran seperti itu? Atau kita telah terlalu nyaman hidup dalam ilusi, hingga lupa menjadi manusia yang menolak tunduk pada kebusukan sistem?

Mungkin benar adagium yang dikutip penulis anonim di media sosial beberapa waktu lalu “Kalau semua orang sudah jadi anjing, apakah kita masih berani tetap menjadi manusia?”

Berita Terkait

Kapolres Nagan Raya Kunker Ke Mapolsek Kuala. Dan Berikan Bantuan Sembako
Waspadai Serangan Balik Mafia Migas dan Tambang Terhadap Kejagung
Pena yang Kehilangan Nurani
Ketua Dekranasda Nagan Raya Raih Juara III Fashion Show se-Aceh, Tampilkan Motif Khas “Bungong Kayee”
Ketua TP-PKK Nagan Raya Buka Musrena 2025: Dorong Partisipasi Perempuan, Anak, dan Disabilitas dalam Pembangunan
Cerita Petani Anggur Duyu Bangkit: Reforma Agraria Tak Hanya Soal Tanah, tapi Juga Kemandirian
Dari Pengungsi Jadi Pemilik, Cerita Warga Pejuang Eks Timtim yang Terima Manfaat dari Reforma Agraria
Bangsa Ini Tak Butuh Presiden yang Pura-pura Gila

Berita Terkait

Selasa, 18 November 2025 - 00:22 WIB

Polres Aceh Tenggara Bongkar Peredaran Sabu di Pulonas Baru, Dua Orang Diamankan

Selasa, 18 November 2025 - 00:11 WIB

Bupati Aceh Tenggara Peusijuek Kajari Baru, Tradisi Adat Sambut Tugas Baru

Selasa, 18 November 2025 - 00:07 WIB

APBK Aceh Tenggara 2026 Turun Rp121 M, Pemerintah Ketar-ketir Hadapi Defisit

Senin, 17 November 2025 - 19:05 WIB

Polres Aceh Tenggara Gelar Apel Operasi Zebra Seulawah 2025, Fokus pada Keselamatan Lalu Lintas Jelang Natal dan Tahun Baru

Minggu, 16 November 2025 - 22:23 WIB

LSM Gempita Desak Kejari Aceh Tenggara Transparan Tangani Kasus Jembatan Silayakh

Minggu, 16 November 2025 - 02:53 WIB

Sat Binmas Polres Aceh Tenggara Gelar Perjusami Saka Bhayangkara, Angkatan XXV Fokus pada Pencegahan Narkoba

Sabtu, 15 November 2025 - 22:23 WIB

Bupati Fakhry Buka Muskab ke-II Kadin Aceh Tenggara: Tekankan Sinergi Penguatan Dunia Usaha

Sabtu, 15 November 2025 - 15:42 WIB

SMPN 2 Kutacane Gelar Market Day, Siswa Antusias Belajar Kewirausahaan

Berita Terbaru

BANDA ACEH

GEBYAR PAI III 2025 Resmi Ditutup Dengan Megah

Selasa, 18 Nov 2025 - 00:52 WIB