Aceh Tenggara, 16 Oktober 2025 | Proyek pembangunan bronjong atau pengaman tebing sungai di Kabupaten Aceh Tenggara senilai Rp6,9 miliar disorot publik setelah muncul dugaan pengurangan volume pekerjaan. Proyek yang dikerjakan oleh rekanan CV Alfatir ini ditengarai mengalami penyimpangan pada sejumlah titik konstruksi, terutama pada bagian pondasi serta segmen ketiga dan kelima dari struktur utama bangunan.
Dugaan ini diungkapkan oleh Bupati Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Aceh Tenggara, Fazriansyah. Ia menjelaskan bahwa sejak awal pihaknya telah melakukan pemantauan secara berkala terhadap progres pembangunan proyek yang bersumber dari anggaran negara tersebut.
“Dari hasil penelitian dan pengawasan kami di lapangan, ditemukan bukti dugaan berkurangnya volume pekerjaan, khususnya di pondasi dan segmen ketiga serta kelima. Jumlah balok bronjong yang terpasang tidak sesuai dengan gambar perencanaan,” ujar Fazriansyah saat diwawancarai pada Kamis, 16 Oktober 2025.
Menurutnya, pembangunan bronjong yang memiliki sebelas tingkat segmen dan delapan baris pondasi itu, pada beberapa titik justru ditemukan ketidaksesuaian jumlah balok dibanding rencana awal. Beberapa koordinat konstruksi juga disebut mengalami pemotongan, baik dalam jumlah maupun volume unit yang digunakan.
“Di medan tertentu, jumlah pondasi balok bronjong yang seharusnya dipatok delapan baris justru ditemukan lebih sedikit. Ini bukan asumsi sepihak, kami memiliki dokumentasi lengkap melalui rekaman visual yang diambil selama proses pembangunan berlangsung,” tambahnya.
Ia menilai, sebagai proyek strategis yang ditujukan untuk menanggulangi abrasi dan potensi banjir di kawasan pemukiman warga, kualitas dan spesifikasi pekerjaan harus dipenuhi sesuai kontrak. Bila terjadi pengurangan volume, kata dia, bukan hanya berpotensi merugikan keuangan negara, tapi juga membahayakan keselamatan masyarakat.
Dalam konteks hukum, ia mengingatkan bahwa setiap proyek yang menggunakan dana publik wajib mengacu pada regulasi yang berlaku. Salah satunya adalah Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah diperbarui dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2021, yang menegaskan pentingnya prinsip transparansi, efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas dalam setiap tahapan pengadaan.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 7 ayat (1) huruf a dan Pasal 3 yang melarang perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum yang merugikan keuangan negara.
“Kalau pengurangan volume ini disengaja, maka bukan lagi ranah administrasi, tapi bisa masuk ke pidana. Negara dirugikan, masyarakat terancam,” tegasnya.
Sementara itu, berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Wilayah Sumatera I, disebutkan bahwa proyek tersebut hingga kini belum memasuki tahap Provisional Hand Over (PHO) atau serah terima sementara. Penyebabnya adalah belum adanya pengganti pejabat Panitia Pelaksana Kegiatan (PPK) yang sebelumnya meninggal dunia.
“Belum dilakukan PHO karena PPK sebelumnya telah meninggal dunia, dan sampai sekarang belum ditunjuk pejabat penggantinya,” ujar Norman dari Ditjen Sumber Daya Air, Kamis (16/10).
Namun saat ditanyakan soal teknis pelaksanaan pekerjaan, dirinya enggan memberikan keterangan lebih lanjut karena berada di luar ruang lingkup tugasnya. “Maaf, bukan ranah saya menjelaskan teknis pekerjaan proyek itu,” ujarnya singkat.
Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari pihak pelaksana proyek terkait tudingan pengurangan volume yang mencuat. Di sisi lain, publik dan masyarakat sekitar lokasi proyek mulai menyuarakan harapan agar pihak berwenang melakukan audit dan investigasi transparan terhadap pelaksanaan pembangunan tersebut.
Desakan agar dilakukan audit teknis semakin kuat seiring keterbukaan informasi di lapangan. Proyek yang seharusnya menjadi bagian dari upaya penanggulangan bencana justru dikhawatirkan tak memberikan manfaat maksimal jika pengerjaannya tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah tertuang dalam kontrak.
“Transparansi dan akuntabilitas jadi koentji dalam proyek berdana publik. Kalau ada penyimpangan, harus segera ditindak. Jangan sampai proyek ini hanya jadi formalitas serapan anggaran tanpa kebermanfaatan,” tutup Fazriansyah. (TIM)