Aktivis HAM menegaskan pengungsi Rohingya merupakan kelompok yang terusir dari negaranya dan dieksploitasi agen perdagangan manusia.
BANDA ACEH | Lebih dari 70 pengungsi Rohingya yang diselamatkan setelah perahu kayu mereka terbalik di Samudera Hindia di lepas pantai provinsi Aceh telah diusir dari tempat penampungan sementara mereka karena protes warga lokal, kata seorang pejabat UNHCR dan pemerintah setempat pada Rabu (27/3).
Menurut Mawardi, Humas Polres Aceh Barat, masyarakat melakukan aksi protes lantaran mereka mengklaim pemerintah daerah tidak menepati janji untuk menampung pengungsi Rohingya di wilayahnya maksimal lima hari.
“Masyarakat melakukan demonstrasi karena mendapat informasi dari pemerintah setempat bahwa pengungsi Rohingya hanya akan ditampung selama lima hari, namun ini sudah melebihi batas waktu tersebut,” kata Mawardi kepada BenarNews.
Pemerintah setempat memutuskan untuk memindahkan sementara pengungsi ke kompleks kantor Bupati Aceh Barat untuk memastikan 75 pengungsi Rohingya yang masih hidup tetap aman, kata Muhammad Hidayat Isa, Kepala Komunikasi dan Informasi Publik Kabupaten Aceh Barat.
“Para pengungsi dipindahkan ke kompleks kantor Bupati Aceh Barat untuk menghindari gejolak masyarakat,” kata Hidayat kepada BenarNews.
Protection Associate UNHCR Faisal Rahman mengatakan terus memantau situasi dan kondisi masyarakat paling menderita di dunia yang tinggal di tanah Aceh.
“Iya, pengusiran itu benar terjadi seperti yang beredar di media sosial. Kini mereka ditempatkan di halaman kantor Bupati Aceh Barat,” kata Faisal kepada BenarNews.
Dalam video yang beredar luas di media sosial yang dilihat BenarNews, terlihat puluhan orang menggerebek gedung Palang Merah Indonesia (PMI), Desa Suak Nie, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, tempat penampungan Rohingya.
Warga menuntut agar para pengungsi Rohingya segera dipindahkan dari tempat penampungan sementara. Sejumlah pengungsi tampak ketakutan dan menangis akibat aksi massa yang memaksa mereka keluar.
Ali, warga Desa Suak Nie, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, yang juga menjadi peserta aksi, meminta pemerintah setempat segera memindahkan pengungsi etnis Rohingya dari desanya.
Menurut dia, pada pekan lalu, pemerintah daerah dan UNHCR berjanji akan menempatkan para pengungsi di desanya selama lima hari.
Namun, hingga enam hari belum ada upaya dari pemerintah daerah dan UNHCR untuk memindahkan pengungsi dari desa setempat.
“Mau dipindahkan ke aula bupati atau kantor bupati silakan, yang penting tidak ada lagi pengungsi Rohingya di desa kami,” kata Ali, yang hanya disebutkan satu nama seperti dikutip Antara, Selasa (26/3).
Kecaman aktivis
Azharul Husna, Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Aceh mengecam tindakan warga yang mengusir pengungsi Rohingya.
Menurutnya, pengusiran masyarakat demi pengusiran pengungsi Rohingya merupakan akumulasi dari banyak berita palsu dan disinformasi.
Disinformasi tersebut antara lain kelompok etnis Rohingya memperkosa warga sekitar dan hidup nyaman di kamp pengungsi, kata Husna.
“Ini telah menjadi stigma terhadap pengungsi Rohingya,” katanya kepada BenarNews.
Husna menegaskan pengungsi Rohingya merupakan kelompok yang terusir dari negaranya dan dieksploitasi oleh agen penyelundupan dan perdagangan manusia. Perempuan dan anak-anak Rohingya juga mengalami pelecehan seksual di Myanmar.
“Sebagai masyarakat yang telah melalui pengalaman perang terpanjang, bencana tsunami terbesar dan menikmati kasih sayang yang melimpah dari warga dunia, bukankah kitalah yang paling memahami dan bisa merasakan dengan baik kepedihan masyarakat Rohingya?” ucap Husna.
UNHCR mengatakan pada Jumat lalu bahwa lebih dari 70 warga Rohingya dikhawatirkan tewas atau hilang di laut setelah kapal mereka terbalik di lepas pantai Indonesia pekan lalu, namun petugas penyelamat Indonesia meragukan ada korban jiwa.
Indonesia mengakhiri operasi pencarian dan penyelamatan pada Kamis (21/3) setelah membawa total 75 orang Rohingya ke darat selama dua hari setelah perahu kayu mereka terbalik di dekat pantai provinsi Aceh pada Rabu (20/3).
Namun, UNHCR dan IOM mengatakan dalam pernyataan bersama bahwa beberapa pengungsi yang diselamatkan mengatakan kepada pihak berwenang bahwa ada 151 pengungsi di kapal tersebut.
“UNHCR dan IOM sangat prihatin dengan potensi hilangnya nyawa karena para pengungsi yang diselamatkan mengatakan bahwa kapal tersebut sebenarnya membawa 151 orang,” kata pernyataan bersama tersebut.
UNHCR dan IOM juga mengatakan bahwa Indonesia telah “menunjukkan sisi kemanusiaan yang kuat,” dan menambahkan bahwa mereka telah mengirimkan tim ke Kabupaten Aceh Barat untuk membantu pemerintah daerah dalam memberikan bantuan kepada para korban.
Kejadian terbaru ini terjadi di tengah meningkatnya kedatangan kapal pengungsi Rohingya di Indonesia.
“Pada tahun 2023 saja, lebih dari 2.300 pengungsi Rohingya tiba [di Indonesia], dengan peningkatan yang signifikan sejak bulan November dan seterusnya. Jumlah ini melebihi jumlah kedatangan dalam empat tahun sebelumnya secara keseluruhan,” kata UNHCR dan IOM.
Rohingya telah ditampung di sejumlah lokasi di seluruh Aceh, menurut UNHCR.
Pada bulan Januari, UNHCR melaporkan bahwa 569 pengungsi Rohingya meninggal atau hilang di laut selama tahun 2023 dalam upaya mereka melarikan diri dari Myanmar atau Bangladesh.
Rohingya adalah minoritas Muslim tanpa kewarganegaraan yang teraniaya di Myanmar. Mereka melarikan diri dari kekerasan dan penindasan dari tanah air mereka selama bertahun-tahun.
Menyusul serangan militer pada tahun 2017 di negara bagian Rakhine, Myanmar, yang digambarkan oleh PBB sebagai “contoh pembersihan etnis,” sekitar 740.000 warga Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh.
Saat ini, hampir 1 juta pengungsi Rohingya tinggal di kamp-kamp yang padat di tenggara Bangladesh.
Dalam keputusasaan, banyak yang meninggalkan kamp pengungsi yang penuh sesak di Bangladesh itu, untuk mencari kehidupan yang lebih baik di negara lain termasuk Malaysia dan Indonesia.
Nurdin Hasan di Banda Aceh berkontribusi pada artikel ini.