Subulussalam — Di tengah gelombang kerusakan hutan yang terus mengancam keberlanjutan ekosistem, Negara kembali menunjukkan kelemahan memalukan. Dua kilang kayu (soumíl) di Kota Subulussalam, Aceh, dengan terang-terangan melanjutkan operasi penebangan dan pengolahan kayu gelondongan, sekalipun Kementerian Kehutanan telah secara resmi melarang seluruh aktivitas itu. Bukannya berhenti, kegiatan ilegal ini justru berjalan lancar, seolah-olah surat edaran pemerintah hanyalah lelucon administratif belaka.
Larangan keras yang dikeluarkan melalui Surat Edaran Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Nomor PG.2/IPHH/PHH/HPL.4.1./B/7/2025—yang menutup akses SIPUHH (Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan) bagi pemegang Hak Atas Tanah sejak 14 Juli 2025 pukul 00.00 WIB—ternyata tak punya taring di hadapan para pelaku usaha. Negara seakan absen dari kewajiban utamanya: melindungi hutan dan menegakkan hukum.
Bukti di lapangan sungguh mencengangkan. Salah satu kilang milik Marolop Manik di Desa Batu Napal, Kecamatan Sultan Daulat, terpantau masih aktif menampung dan mengolah kayu gelondongan. Tumpukan kayu setinggi truk terlihat di pelataran kilang, lengkap dengan barcode dari KPH VI. Tapi ketika diuji pakai pemindai digital, mayoritas barcode itu gagal diakses. Ada yang kosong, ada yang tidak terdaftar. Fakta ini menambah kuat dugaan: seluruh operasi ini hanya kedok untuk membuka lahan sawit secara ilegal—modus lama dengan wajah baru.
Parahnya, Marolop sendiri mengaku tak tahu pasti di mana lokasi konsesi lahannya. “Ada 100 hektare lahan konsesi kami, tapi saya belum pernah ke sana,” akunya enteng, tanpa rasa bersalah. Pernyataan ini menohok akal sehat. Bagaimana mungkin seseorang bisa menebang hutan tanpa tahu lokasi pasti lahannya? Ini bukan lagi kelalaian. Ini adalah pembangkangan terhadap negara.
Ketua Komisi B DPRK Subulussalam, Hasbullah, yang turun langsung ke lokasi, memverifikasi sendiri bahwa barcode kayu tak bisa dipindai. Ia bahkan menyatakan bahwa tidak ada satu pun dokumen yang dapat membuktikan legalitas sumber kayu tersebut. “Ini sangat serius. Negara sedang diperdaya di tanahnya sendiri,” tegasnya. Tetapi hingga kini, tidak ada tindakan nyata. Tidak ada penyegelan, tidak ada penangkapan. Semua pihak saling diam, seakan sudah terbiasa dengan skandal kehutanan.
Video eksklusif yang diperoleh dari warga bahkan menunjukkan alat berat tengah mengangkut kayu gelondongan dari dalam hutan, jelas melanggar larangan resmi pemerintah. Kegiatan ini bukan dilakukan diam-diam di malam hari, tapi di siang bolong, menunjukkan betapa percaya dirinya para pelaku bahwa tidak akan ada konsekuensi hukum apa pun.
Negara sedang kalah telak. Hukum kehilangan wibawanya. Surat edaran tinggal kertas mati yang tak digubris. Kementerian Kehutanan belum tampak hadir, seolah buta terhadap kejahatan yang begitu gamblang. Aparat penegak hukum pun belum menggerakkan satu pun tim investigasi. Ketiadaan respon ini justru membuka ruang aman bagi mafia kayu dan jaringan pembalak liar untuk terus memperluas aksi mereka.
Jika pelanggaran ini tidak segera diusut dan ditindak tegas, Subulussalam hanya tinggal menunggu waktu menjadi titik nol deforestasi massal. Hutan sebagai paru-paru kawasan akan hancur, dan semua itu akan terjadi di bawah pengawasan pasif lembaga-lembaga negara yang seharusnya melindunginya. Situasi ini lebih dari sekadar pelanggaran administratif—ini adalah penghinaan terhadap martabat hukum Indonesia.
UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan jelas menyatakan bahwa pembalakan liar bisa dihukum maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp5 miliar. Tapi semua itu hanya bunyi teks undang-undang, ketika praktik di lapangan membuktikan bahwa negara memilih bungkam, takut, atau—yang lebih mengerikan—ikut bermain di dalamnya.
Subulussalam sedang berdarah, tapi tidak oleh banjir atau longsor, melainkan oleh kebisuan aparat dan ketidakberdayaan lembaga. Jika negara tidak segera hadir secara nyata, maka jangan salahkan rakyat jika mulai meragukan siapa sesungguhnya yang sedang berkuasa di hutan kita: pemerintah, atau mafia kayu?
Laporan: Tim Investigasi Kota Subulussalam