Subulussalam — Situasi di Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, Provinsi Aceh, memanas. Konflik antara masyarakat adat dan perusahaan perkebunan PT Laot Bangko kembali meledak setelah manajemen perusahaan diduga memicu ketegangan dengan mencoba menutup akses jalan ke lahan pertanian warga. Perusahaan disebut membangun fort dan paret gajah yang menghalangi jalur utama menuju wilayah kelola masyarakat. Aksi sepihak ini memantik kemarahan warga yang langsung membalas dengan menutup jalan menuju perkebunan milik perusahaan.
Dari lokasi kejadian, terlihat kondisi jalan desa berubah menjadi arena saling blokade. Warga dari Kemukiman Penanggalan, Pertaki Jontor, dan komunitas transmigrasi SKPC tak tinggal diam. Mereka menyatakan perlawanan terbuka terhadap PT Laot Bangko. Puluhan spanduk penolakan terhadap perpanjangan HGU perusahaan dibentangkan di sepanjang titik-titik strategis lahan. Seruan perlawanan pun menggema di media sosial dan forum-forum lokal. “Kami bukan anti-investasi, tapi kami tolak perampasan tanah adat,” tegas Ramli Berutu, tokoh adat Penanggalan.
Warga menilai PT Laot Bangko telah bertindak di luar batas. Mereka menuduh perusahaan merambah tanah adat tanpa persetujuan sah, mengabaikan prosedur musyawarah, dan bersikap arogan terhadap komunitas lokal. Yang paling dipertanyakan adalah proses pengajuan perpanjangan HGU yang dinilai cacat hukum. Peta bidang HGU yang digunakan perusahaan juga dituding tumpang tindih dengan tanah garapan masyarakat, kawasan ladang produktif, bahkan permukiman.
Ketua komunitas masyarakat adat Pertaki Jontor, Asri Tinambunan, menyebut pemerintah terlalu pasif dalam menangani konflik. “Kami sudah minta agar Pemko Subulussalam dan BPN buka data HGU secara resmi. Tapi sampai sekarang semua tutup mulut,” katanya. Ia menambahkan bahwa masyarakat berulang kali meminta transparansi data, namun selalu ditanggapi dengan pembiaran. Sementara itu, pihak perusahaan terus beroperasi seolah tidak ada sengketa.
Tindakan PT Laot Bangko membangun paret gajah di tanah sengketa disebut sebagai bentuk provokasi terbuka. Langkah itu dinilai sebagai upaya mendikte masyarakat melalui kekuatan fisik, bukan dialog. Paret gajah yang dibuat perusahaan kini menjadi simbol ketegangan dan pemisah antara kepentingan korporasi dan hak hidup masyarakat adat. “Kami anggap ini bentuk intimidasi. Mereka ingin mengusir kami secara perlahan dari tanah kami sendiri,” ujar seorang warga.
Masyarakat tak lagi berharap banyak kepada pemerintah kota dan provinsi. Bersama sejumlah LSM, seperti Koalisi Rakyat Peduli Lahan (KRPL) dan Duara Putra Atjeh, warga menuntut agar Presiden Republik Indonesia dan Komnas HAM turun tangan langsung. Mereka mendesak agar dilakukan audit independen terhadap seluruh proses perizinan PT Laot Bangko. Warga juga meminta penghentian semua aktivitas perusahaan di lahan yang sedang bersengketa, termasuk pembangunan fisik apa pun.
Hingga kini, Pemerintah Kota Subulussalam dan Pemerintah Provinsi Aceh belum memberikan respons resmi. Namun sumber internal menyebutkan bahwa Wali Kota H. Rasyid Bancin sedang mempertimbangkan pembentukan tim verifikasi untuk mengkaji ulang peta HGU perusahaan. Belum ada kejelasan kapan tim itu akan dibentuk, atau sejauh mana keseriusan Pemko menyikapi konflik yang semakin meruncing ini.
Kisruh PT Laot Bangko bukan konflik baru. Selama bertahun-tahun, persoalan agraria di wilayah ini dibiarkan menggantung tanpa penyelesaian yang berpihak pada masyarakat. Perusahaan mendapat karpet merah sementara suara rakyat hanya dianggap gangguan. Kini, bara itu kembali menyala. Dan bila tidak segera diselesaikan, Subulussalam berpotensi menjadi titik ledak konflik agraria berikutnya di Aceh. Pemerintah tak bisa lagi berdiri di tengah-tengah. Saat rakyat bicara soal tanah, itu artinya bicara soal hidup. Dan hidup, tak bisa ditawar-tawar. (RED)
🛑 #SaveTanahAdat #TolakHGULaotBangko #LawanPerampasanLahan