ACEH SELATAN | Perizinan perkebunan sawit kembali jadi sorotan tajam di Aceh Selatan. PT Aceh Lestari Indosawita (PT ALIS), sebuah perusahaan sawit yang beroperasi di wilayah ini, diduga telah melanggar ketentuan hukum agraria dengan melakukan penggarapan lahan sebelum mengantongi Hak Guna Usaha (HGU). Perusahaan itu mengklaim sudah memiliki Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) dan izin land clearing (pembersihan lahan), padahal HGU yang menjadi dasar hukum penguasaan lahan belum mereka miliki.
Hal itu disampaikan Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA) Fadhli Irman, Rabu 9 Juli 2025 menanggapi pernyataan Dirut PT ALIS, Hendi. Dalam keterangannya kepada media, Hendi secara terbuka menyatakan bahwa PT ALIS telah menggarap 40 hektare lahan dari total 1.367,5 hektare yang mereka rencanakan. Pernyataan ini justru dianggap sebagai bukti terang bahwa perusahaan tersebut beroperasi tanpa dasar hukum yang sah.
Fadhli menyebutkan, pengakuan tersebut bukan sekadar blunder komunikasi, melainkan indikasi serius pelanggaran hukum yang dapat menjurus pada kejahatan korporasi. “Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini pembangkangan terhadap sistem hukum negara. Ini kejahatan terstruktur di sektor agraria,” tegasnya.
Menurutnya, berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 05 Tahun 2019 yang mengatur tata cara perizinan berusaha sektor pertanian, serta diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XIII/2015, kepemilikan HGU adalah syarat mutlak sebelum diterbitkannya IUP Budidaya maupun izin pembukaan lahan. Tanpa HGU, kegiatan usaha perkebunan dinyatakan ilegal.
Fadhli mempertanyakan bagaimana mungkin PT ALIS bisa mendapatkan IUP dan izin land clearing jika HGU belum dikantongi. Ia menyebut bahwa izin-izin itu hanya bisa terbit jika ada oknum yang bermain di belakang meja. “Tidak mungkin izin itu terbit dengan prosedur normal. Pertanyaannya: siapa yang menandatangani? Siapa yang menutup mata? Di sini kita melihat ada indikasi permainan kotor yang harus diusut tuntas,” katanya.
Ia juga menyebut bahwa penggarapan lahan tanpa HGU bisa berdampak luas terhadap konflik agraria, kerusakan lingkungan, dan kerugian negara. Lebih dari itu, tindakan semacam ini berpotensi menyingkirkan masyarakat adat dan petani dari wilayah kelola mereka. “Kalau HGU belum ada, lalu atas dasar apa PT ALIS mengklaim lahan itu? Apakah mereka juga sudah mengantongi izin lingkungan? Di mana AMDAL-nya? Ini semua patut dicurigai dan dipertanyakan,” ujarnya.
GerPALA meminta agar aparat penegak hukum tidak tinggal diam. Kepolisian, Kejaksaan, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi diminta turun tangan membongkar dugaan permainan perizinan ini. Fadhli meyakini bahwa pengungkapan kasus ini akan menyeret lebih dari sekadar manajemen perusahaan. “Kami yakin ini tidak berdiri sendiri. Ada jaringan yang bermain. Dari pejabat teknis di kabupaten, sampai mungkin aktor politik yang punya kepentingan. Semua harus dibongkar.”
Ia juga mengingatkan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah membentuk Satgas Garuda untuk menertibkan kebun sawit ilegal di seluruh Indonesia. Maka kasus PT ALIS ini seharusnya jadi prioritas. “Presiden jelas. Tidak ada kompromi dengan perusahaan sawit ilegal. Kalau Satgas Garuda sungguh bekerja, maka ini saatnya mereka turun ke Aceh Selatan,” ujarnya.
GerPALA menyatakan siap mengawal kasus ini hingga tuntas, termasuk melayangkan laporan resmi ke Ombudsman, Komnas HAM, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mereka menilai kasus ini adalah ujian serius bagi integritas penegakan hukum di sektor sumber daya alam. “Kalau negara takut, rakyat tidak. Kalau institusi bungkam, kami akan bersuara. HGU itu harga mati. Tanpa HGU, semua operasi perusahaan itu ilegal. Dan hukum harus tegas: batalkan izinnya, pidanakan pelakunya,” tutup Fadhli. (*)