Kutacane – Lembaga Swadaya Masyarakat Lumbung Informasi Rakyat (LSM LIRA) Aceh Tenggara mendesak Kapolda Aceh untuk segera mengambil tindakan tegas terkait dugaan praktik “tangkap lepas” seorang bandar narkoba berinisial AW yang dilakukan oleh oknum anggota Satuan Reserse Narkoba Polres Aceh Tenggara. Aksi tersebut dikabarkan terjadi di wilayah Medan, Sumatera Utara, dan kini mulai menuai perhatian publik.
Desakan ini disampaikan langsung oleh Bupati LSM LIRA Aceh Tenggara, Fazriansyah, yang menyebut peristiwa tersebut sebagai pelanggaran serius terhadap hukum dan kode etik kepolisian. Ia menilai, jika benar terjadi pelepasan tersangka tanpa proses hukum yang sah, maka tindakan itu bukan saja mencederai institusi Polri, tetapi juga berpotensi melanggar pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan sejumlah regulasi internal kepolisian.
“Jika dugaan pelepasan ini benar, maka merupakan penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum. Hal ini bisa dikategorikan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 421 KUHP, yang menyebutkan bahwa pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan karena memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dikenai pidana penjara,” kata Fazriansyah, Minggu (19/10/2025).
Selain itu, ia juga menyebut bahwa tindakan “tangkap lepas” juga merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 13 yang menegaskan tugas pokok Polri dalam memelihara keamanan, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat secara profesional dan dapat dipercaya.
Fazriansyah melanjutkan, dugaan praktik ini juga bertentangan dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, di mana setiap anggota polisi wajib menjunjung tinggi integritas, kejujuran, dan tidak menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi maupun orang lain.
“Ini bukan cuma soal etika, tapi juga soal hukum dan moralitas. Tidak boleh ada pembiaran dari pimpinan kepolisian. Jika prinsip transparansi dan akuntabilitas tidak ditegakkan, maka jangan harap kepercayaan masyarakat bisa dipulihkan,” tegasnya.
LSM LIRA secara khusus meminta Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Inspektorat Pengawasan Daerah (Irwasda) Polda Aceh segera melakukan investigasi menyeluruh terhadap peristiwa tersebut. Menurut Fazriansyah, penyelidikan internal yang transparan bukan hanya penting untuk mengungkap kebenaran, tetapi juga untuk menjaga nama baik institusi Polri, khususnya di jajaran Polres Aceh Tenggara.
“Kami juga meminta agar penyelidikan dilakukan sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Pelanggaran Disiplin Anggota Polri, agar semua proses bersifat terbuka, objektif, dan akuntabel. Jangan sampai kasus ini berakhir tanpa kejelasan,” ucapnya.
Ia menegaskan bahwa publik, khususnya di Aceh Tenggara dan Sumatera Utara, saat ini tengah menanti ketegasan dari Kapolda Aceh dalam menunjukkan komitmen terhadap pemberantasan narkotika. Bagi LSM LIRA, upaya perang melawan narkoba tak akan berarti jika masih ada oknum aparat hukum yang diduga bermain “dua kaki”.
“Polri tidak boleh menjadi pelindung bagi pelaku kejahatan, apalagi jika yang dilindungi adalah bandar narkoba. Kapolda wajib membuktikan bahwa institusinya tegas terhadap pelanggaran seperti ini. Jangan biarkan institusi yang kita banggakan ini tercoreng hanya karena ulah beberapa oknum,” ujarnya.
Sebagai bentuk komitmen berkelanjutan dalam pengawasan sosial, LSM LIRA menyatakan siap mengawal proses hukum kasus ini sampai tuntas. Pihaknya juga tak segan melaporkan segala temuan baru kepada Divisi Hukum Mabes Polri, Itwasum, hingga Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) guna memastikan bahwa pelanggaran, sekecil apa pun, tidak ditoleransi.
“Masyarakat berhak mendapatkan penegakan hukum yang adil dan bersih. Kita tidak boleh takut menghadapi oknum yang menyalahgunakan kekuasaan. Jika tidak ditindak, ini akan menjadi preseden buruk bagi seluruh upaya pemberantasan narkotika di Indonesia,” pungkas Fazriansyah.
Dalam konteks ancaman peredaran narkoba yang kian masif, publik mendambakan institusi kepolisian yang bersih, terpercaya, dan bebas dari praktik koruptif. Dugaan “tangkap lepas” terhadap bandar narkoba bukan hanya merusak integritas aparat, tetapi bisa mengancam fondasi penegakan hukum secara nasional.
(TIM)