Tapaktuan — Penerbitan Surat Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan kepada PT Aceh Lestari Indo Sawita (PT ALIS) menuai sorotan dari kalangan masyarakat sipil. PKKPR bernomor 21052410311101007 yang diterbitkan pada 21 Mei 2024 itu dinilai bermasalah secara administratif karena disinyalir terdapat cacat formil, termasuk dugaan masuknya lahan garapan masyarakat dan kawasan lindung dalam wilayah yang diizinkan untuk perkebunan kelapa sawit.
Koordinator Kaukus Pemuda Peduli Aceh Selatan (KP2AS), Rusdiman, menyampaikan bahwa sejak surat dan peta PKKPR itu diterbitkan, sejumlah warga menyampaikan keberatan karena lahan mereka yang masih dikuasai secara sah, justru masuk dalam peta HGU milik perusahaan. Hal ini menurutnya menunjukkan bahwa penerbitan izin dilakukan secara tergesa dan tanpa melalui proses verifikasi lapangan yang menyeluruh.
Ia menilai pemerintah daerah seharusnya melakukan langkah-langkah kehati-hatian sebelum menerbitkan PKKPR, termasuk memastikan bahwa tidak ada tumpang tindih dengan lahan masyarakat, kawasan hutan lindung, maupun Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang berstatus kawasan konservasi. Selain itu, keterlibatan instansi teknis seperti Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan konsultasi publik dengan warga terdampak dinilai penting agar tidak menimbulkan konflik di kemudian hari.
Rusdiman menyebut bahwa pola pemberian izin seperti ini mencerminkan masih lemahnya kontrol pemerintah terhadap perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan besar. Ia mengkhawatirkan, jika tidak dikoreksi sejak awal, maka situasi ini dapat menyerupai strategi kolonial yang dikenal dengan istilah “Belanda tanam labu”, yakni praktik ekspansi wilayah secara perlahan namun pasti, yang pada akhirnya merugikan rakyat dan negara.
“Jangan sampai Pemerintah sejak awal memberikan peluang kepada perusahaan sawit untuk menggunakan strategi Belanda pula boh labu (Belanda tanam labu) yang pada akhirnya di kemudian hari merugikan daerah, negara dan masyarakat,” ujar Rusdiman kepada wartawan pada Sabtu, 12 Juli 2025 di Tapaktuan.
Ia mengingatkan, pada 2012 silam, Pemkab Aceh Selatan dan Kementerian Kehutanan sudah pernah menyetujui tukar guling kawasan hutan dengan perusahaan PT BAS. Oleh sebab itu, penting untuk memastikan bahwa PT ALIS tidak mengulang praktik serupa dengan memasukkan lahan yang seharusnya tidak lagi digunakan untuk perkebunan.
Rusdiman juga mempertanyakan mengapa izin untuk pembangunan jalan strategis nasional seperti ruas Trumon–Buloh Seuma–Rundeng–Kuala Baru harus melalui proses panjang dan ketat karena bersentuhan dengan hutan lindung, sementara untuk perusahaan sawit izin lokasi dan peta langsung disetujui dalam waktu singkat. Ia menilai proses tersebut harusnya dilakukan secara hati-hati dan tidak berat sebelah.
KP2AS, menurutnya, mendesak agar Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan mengevaluasi secara menyeluruh PKKPR yang telah diberikan kepada PT ALIS. Evaluasi itu harus melibatkan pihak-pihak independen, termasuk BKSDA dan masyarakat pemilik lahan, guna memastikan tidak terjadi pelanggaran aturan tata ruang maupun hukum lingkungan.
Rusdiman menegaskan, apabila ditemukan kejanggalan atau pelanggaran di lapangan, maka pemerintah memiliki kewenangan untuk merevisi atau bahkan membatalkan peta PKKPR yang sudah terbit. Ia berharap agar setiap proses perizinan benar-benar mengikuti koridor regulasi yang ada, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Permentan Nomor 21 Tahun 2017 tentang Perizinan Usaha Perkebunan.
Rusdiman mengingatkan, ketidakhati-hatian pemerintah dalam memberikan izin lokasi dan persetujuan ruang dapat menjadi beban jangka panjang. Jika sejak awal terdapat kelalaian, maka dampaknya akan dirasakan bukan hanya sekarang, tetapi juga oleh generasi mendatang. (*)