Meulaboh – Sorotan terhadap operasional perusahaan tambang batu bara PT Mifa Bersaudara kembali mencuat, kali ini datang dari kalangan akademisi. Ketua Himpunan Mahasiswa Manajemen (HIMMA) Universitas Teuku Umar (UTU), Fernandi, secara tegas meminta Pemerintah Aceh dan seluruh pemangku kepentingan untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap aktivitas perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Aceh Barat tersebut.
Dalam keterangannya kepada media pada Selasa (9/7), Fernandi menyampaikan bahwa hingga saat ini belum terlihat adanya langkah konkret dari pemerintah dalam menanggapi berbagai kritik dan keresahan masyarakat terkait keberadaan PT Mifa. Ia menilai bahwa keberadaan perusahaan tersebut seharusnya membawa dampak positif yang nyata, bukan justru meninggalkan pertanyaan besar terkait tanggung jawab sosial, lingkungan, dan keterbukaan informasi.
“Sudah banyak kritik dan sorotan terhadap PT Mifa, tapi sampai hari ini belum terlihat langkah serius dari pemerintah untuk mengevaluasi. Ini harus segera dilakukan,” ujarnya.
Fernandi menekankan pentingnya evaluasi yang komprehensif dan tidak hanya formalitas. Menurutnya, aspek yang harus dikaji bukan sekadar kinerja produksi dan administrasi, melainkan juga menyangkut dampak sosial terhadap masyarakat sekitar tambang, keberlanjutan lingkungan, kontribusi ekonomi lokal, serta pengelolaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang dinilai masih belum transparan dan belum dirasakan manfaatnya secara merata.
Ia menyebut, masyarakat di wilayah sekitar tambang justru banyak yang masih bergantung pada sektor ekonomi kecil tanpa adanya dukungan konkret dari perusahaan. Sementara aktivitas tambang terus berlangsung dengan skala besar, masyarakat justru belum sepenuhnya menikmati hasil dari sumber daya alam yang dieksploitasi di tanah mereka sendiri.
“Jangan sampai masyarakat hanya jadi penonton di tanah sendiri. Ini tambang di Aceh, tapi dampak positifnya belum terasa maksimal. Itu yang perlu dievaluasi,” tegasnya.
Lebih lanjut, Fernandi juga menyoroti rendahnya partisipasi publik dalam proses pengawasan terhadap aktivitas perusahaan tambang. Ia menilai bahwa selama ini proses evaluasi dan audit yang dilakukan pemerintah atau pihak perusahaan terkesan tertutup dan tidak melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas seperti mahasiswa, akademisi, masyarakat sipil, serta tokoh-tokoh lokal yang memahami situasi lapangan.
“Kalau evaluasi hanya dilakukan secara internal atau sepihak, tentu tidak akan menjawab kecurigaan publik. Harus ada keterlibatan masyarakat dan akademisi. Pemerintah tidak bisa menutup mata atau telinga dari suara rakyat,” ungkapnya.
HIMMA UTU, lanjut Fernandi, siap mengambil peran aktif dalam mendorong reformasi tata kelola pertambangan di Aceh, khususnya dalam memastikan bahwa perusahaan yang beroperasi di wilayah Aceh memiliki komitmen kuat terhadap keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.
Ia juga menegaskan bahwa suara mahasiswa bukan sekadar kritik, melainkan bentuk kepedulian terhadap masa depan daerah. “Kami di kampus bukan hanya belajar teori. Kami juga punya tanggung jawab moral untuk menyuarakan keadilan dan memperjuangkan kepentingan masyarakat yang seringkali tidak terdengar,” katanya.
Fernandi mengajak semua elemen, baik pemerintah, akademisi, organisasi mahasiswa, hingga komunitas masyarakat sipil untuk bersama-sama mengawal isu pertambangan di Aceh. Ia menutup pernyataannya dengan harapan agar Pemerintah Aceh tidak lagi menunda proses evaluasi terhadap PT Mifa Bersaudara dan perusahaan tambang lainnya yang beroperasi di tanah rencong.