JAKARTA, BARANEWS | Polrestabes Surabaya diminta mendalami penerapan Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan Berencana dalam kasus dugaan penganiayaan oleh Gregorius Ronald Tannur (31) terhadap kekasihnya, Dini Sera Afrianti (28) hingga tewas. Pendalaman itu perlu dilakukan mengacu pada unsur-unsur kejahatan yang terjadi.
“Polrestabes Surabaya patut mendalami kemungkinan penerapan Pasal 338 KUHP,” kata Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel dalam keterangan tertulis, Sabtu (7/10).
Reza mengatakan Polrestabes Surabaya baru menerapkan Pasal 351 ayat (3) KUHP dan atau Pasal 359 KUHP dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara. Pasal itu, kata dia, baru sebatas sebagai pelaku penganiayaan dan atau kelalaian yang mengakibatkan korban meninggal dunia.
Berdasarkan kronologi peristiwa, kata Reza, terindikasi bahwa perilaku kekerasan Gregorius bereskalasi. Dari menyasar organ tubuh bagian bawah (kaki) ke organ tubuh bagian atas (kepala). Dari sebatas tangan kosong sampai menggunakan alat yang tidak perlu dimanipulasi (botol), dan berlanjut ke penggunaan alat yang perlu dimanipulasi (mobil).
“Eskalasi kekerasan sedemikian rupa, tambahan lagi karena tidak ada yang meleset dari organ vital korban serta terdapat jeda antara menabrak dan episode kekerasan sebelumnya, mengindikasikan GRT sebenarnya berada dalam tingkat kesadaran yang memadai baginya untuk meredam atau bahkan menghentikan perbuatannya,” ungkap Reza.
Namun, alih-alih menyetop, dalam kondisi kesadaran tersebut anak anggota DPR dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Edward Tannur itu justru menaikkan intensitas kekerasan terhadap sasaran. Menurut Reza, itu menjadi penanda bahwa Gregorius sengaja tidak memfungsikan kontrol dirinya untuk menahan atau bahkan menghentikan serangan.
“Tapi justru memfungsikan kontrol dirinya untuk meneruskan bahkan memperberat perilaku kekerasannya,” ucap Reza.
Dia memandang dengan kondisi kesadaran dan aktivasi kontrol sedemikian rupa, patut diduga bahwa Gregorius mampu sampai pada pemikiran bahwa akan melakukan perbuatan yang dapat menewaskan korban. Dengan kata lain, diperkirakan bahwa pada waktu itu di kepala tersangka tersebut sudah muncul pemikiran atau imajinasi tentang kematian korban.
“Pada momen ketika pemikiran atau imajinasi kematian SA itu muncul dalam benak GRT, maka dapat ditafsirkan lengkap alur perbuatan GRT di mana perilaku kekerasan bereskalasi dan disertai dengan imajinasi tentang kematian sasaran. Atas dasar itu, Polrestabes Surabaya patut mendalami kemungkinan penerapan pasal 338 KUHP,” jelasnya.
Reza menekankan penyidik perlu menyelidiki ada tidaknya kontrol diri sebagai perwujudan kesadaran Gregorius. Menurut dia, untuk memastikan itu, perlu ditemukan pola eskalasi perilaku kekerasan Gregorius terhadap sasaran Dini Sera Afrianti.
“Di samping rentang waktu kekerasan secara keseluruhan, cek pula interval antara episode kekerasan yang satu dan lainnya,” kata Reza.
Kemudian, Reza menyarankan penyidik memeriksa ponsel guna memantapkan ada tidaknya pesan atau komunikasi yang menggenapi eskalasi kekerasan Gregorius terhadap Dini Sera Afrianti.
“Maaf, periksa apakah SA dalam keadaan hamil atau kondisi-kondisi fisik lainnya yang bisa menjadi pretext bagi GRT untuk melenyapkan SA,” tambahnya.
Terakhir, Reza meminta penyidik menakar kadar alkohol dalam tubuh Gregorius. Guna memastikan kadar alkohol tersebut berada pada level yang masih memungkinkan melakukan kontrol terhadap pikiran dan perilakunya sendiri atau tidak.
Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polrestabes Surabaya akhirnya menetapkan Gregorius sebagai tersangka dugaan penganiayaan yang mengakibatkan Dini Sera Afrianti meninggal dunia. Dini merupakan warga Sukabumi, Jawa Barat, yang tinggal di Surabaya. (Z-11)/MI