JAKARTA — Ruang Kusumah Atmaja, Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat sore itu penuh sesak. Sorotan kamera televisi dan tatapan publik tertuju pada satu sosok di kursi pesakitan: Hasto Kristiyanto. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan itu akhirnya divonis bersalah dalam kasus suap Wahyu Setiawan—kasus yang berdenyut bersama nama hilang yang tak kunjung tertangkap: Harun Masiku.
Majelis hakim yang dipimpin Rios Rahmanto menjatuhkan hukuman tiga tahun enam bulan penjara dan denda Rp250 juta subsidair tiga bulan kurungan. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta tujuh tahun penjara dan denda Rp600 juta.
Dalam sidang yang digelar nyaris tanpa jeda sejak awal 2025, hakim menyatakan Hasto terbukti melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Ia diyakini terlibat dalam skenario pemberian suap kepada Wahyu Setiawan, Komisioner KPU 2017–2022, demi meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR lewat mekanisme pergantian antarwaktu.
Kasus ini sesungguhnya bukan cerita baru. Jejaknya mulai terendus sejak operasi tangkap tangan KPK pada 8 Januari 2020. Dari tangan Wahyu Setiawan dan sejumlah perantara, tim penyidik menyita uang ratusan juta rupiah yang diyakini berasal dari Harun Masiku—sosok yang seketika menghilang. Nama Hasto muncul bukan hanya karena posisinya sebagai Sekjen PDI-P, melainkan karena peran aktif yang diyakini jaksa dalam mengatur strategi politik internal partai sekaligus menjadi penghubung antara Harun dan lingkaran kekuasaan.
Dalam persidangan, jaksa menggambarkan Hasto sebagai sosok yang berada di balik tirai permainan uang dan kekuasaan. Ia dituding menjadi jembatan pendanaan suap, memberi instruksi untuk merendam ponsel agar jejak digital hilang, serta mengarahkan anak buahnya, Kusnadi, agar tidak kooperatif dalam proses penyidikan. Dari Rp1,5 miliar yang disebut sebagai mahar politik untuk kursi parlemen, baru Rp400 juta yang dikucurkan saat operasi digelar. Sisanya, menyisakan tanda tanya di ruang gelap antara loyalitas politik dan integritas.
Namun pembelaan dari kubu Hasto tak kalah keras. Tim kuasa hukumnya menyebut jaksa merekayasa narasi dan memasukkan fakta-fakta yang tidak diperoleh dari saksi kunci. Bahkan, mereka menuding jaksa menyelundupkan fakta dengan menghadirkan penyelidik dan penyidik KPK sebagai saksi—praktik yang dinilai melanggar prinsip praduga tak bersalah dan kode etik penuntutan.
Mereka menyebut vonis itu sebagai bentuk tekanan politik yang dipoles lewat instrumen hukum. “Tak satu pun saksi menyebut Hasto memberi suap,” ujar penasihat hukum Hasto seusai sidang. Argumen itu diamini sebagian pihak di luar persidangan. Sejumlah massa yang berkumpul di depan gedung pengadilan mengusung spanduk bertuliskan “Bebaskan Hasto” dan “Keranda Demokrasi”. Bagi mereka, vonis ini bukan sekadar perkara hukum, melainkan peringatan bagi siapa pun yang tak sepenuhnya tunduk pada arus kekuasaan baru.
Di sisi lain, KPK menyambut putusan hakim dengan kehati-hatian. Lembaga anti-rasuah itu menyatakan akan mempelajari isi putusan untuk mempertimbangkan banding. Namun publik tahu, lembaga ini telah kehilangan sebagian taringnya sejak era revisi UU KPK dan polemik pemilihan pimpinan. Banyak pihak menilai perkara Hasto menjadi ujian besar terakhir bagi marwah KPK sebagai lembaga independen.
Sementara itu, Harun Masiku tetap tak terlacak. Buronan kelas kakap ini seolah lenyap ditelan bumi. Sudah lebih dari lima tahun tak ada kabar pasti soal keberadaannya. Pernyataan demi pernyataan dari KPK dan Polri tak lagi punya gaung. Tak sedikit pula yang menduga Harun dilindungi oleh jaringan yang lebih kuat daripada hukum itu sendiri.
Putusan terhadap Hasto Kristiyanto memang mencatatkan sejarah. Ia adalah satu dari sedikit elite partai berkuasa yang divonis dalam kasus korupsi strategis. Namun pertanyaan lebih besar masih menggantung: apakah ini benar-benar akhir dari perkara Harun Masiku, atau hanya sekadar mengorbankan satu pion agar papan tetap stabil?
Sampai Harun ditemukan, sampai pertanyaan tentang uang dan kekuasaan benar-benar dijawab, kasus ini belum selesai. Vonis 3,5 tahun untuk Hasto adalah fragmen dari cerita yang lebih panjang—tentang bagaimana hukum dipanggil untuk menyelesaikan perkara yang sebenarnya bermula dari politik. (*)