BARA NEWS | Tragis. Memilukan. Itulah kata yang pantas menggambarkan kasus pemerkosaan anak di bawah umur yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri di Gayo Lues. Di tengah harapan bahwa keluarga adalah tempat teraman bagi seorang anak, nyatanya justru rumah menjadi lokasi kejahatan mengerikan yang merusak masa depan korban secara fisik dan psikis.
Yang lebih memprihatinkan, kasus ini bukanlah yang pertama, dan mungkin juga bukan yang terakhir jika pemerintah masih terlena dalam hiruk-pikuk politik. Di saat rakyat membutuhkan perhatian serius untuk melindungi generasi bangsa, para pejabat justru sibuk dengan agenda partai, koalisi, dan perebutan kekuasaan.
Kegagalan Sistem Perlindungan Anak
Kasus pemerkosaan berulang yang menimpa seorang gadis berinisial Bunga (17) harus menjadi alarm keras bagi seluruh lapisan masyarakat. Pelaku, sang ayah kandung berinisial H, tega melakukan aksi bejatnya sejak korban masih duduk di bangku sekolah dasar hingga usia 17 tahun — artinya, pelaku telah bertahun-tahun melakukan kejahatan tanpa ada intervensi dari siapa pun.
Ini bukan hanya soal moral individu, tapi juga cerminan lemahnya sistem perlindungan anak secara struktural. Negara, melalui institusi yang berwenang seperti Dinas Sosial, aparat penegak hukum, dan lembaga perlindungan anak, gagal memberikan pengawasan dan respons yang cepat serta efektif.
Polres Gayo Lues memang layak mendapat apresiasi karena berhasil menangkap pelaku dan memberikan pendampingan kepada korban. Namun, langkah represif pasca-kejahatan tidak cukup. Diperlukan upaya preventif yang masif agar kejadian serupa tidak terulang.
Pendidikan, Sosialisasi, dan Penegakan Hukum Harus Menyatu
Pemerintah daerah maupun pusat wajib menjadikan perlindungan anak sebagai prioritas utama, bukan hanya dalam bentuk retorika atau slogan kosong. Edukasi tentang hak-hak anak, pengenalan bentuk-bentuk kekerasan, serta penguatan peran keluarga dan lingkungan sangat penting.
Selain itu, penegakan hukum yang tegas dan transparan harus dikedepankan. Dalam kasus ini, pelaku dijerat dengan Pasal 47 Jo. Pasal 50 dan Pasal 49 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2013 tentang Hukum Jinayat, dengan ancaman hukuman 200 bulan penjara. Meski begitu, hukum harus ditegakkan secara konsisten dan adil untuk semua kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Saat Politik Lebih Penting dari Masa Depan Anak
Ironisnya, saat kasus ini mencuat, dinamika politik nasional sedang panas-panasnya. Isu-isu besar seperti reshuffle kabinet, manuver partai politik, hingga persiapan pemilu terus mendominasi pemberitaan dan fokus pemerintah. Sementara itu, tragedi seperti yang terjadi di Gayo Lues justru menjadi berita pinggiran.
Padahal, bagaimana kita bisa bicara tentang pembangunan ekonomi, infrastruktur, atau geopolitik jika anak-anak kita saja tidak mampu dilindungi? Bagaimana kita ingin membangun negara yang kuat, tetapi gagal melindungi jiwa-jiwa yang paling rentan?
Kesadaran Bersama untuk Melindungi Generasi Bangsa
Kepada masyarakat, mari kita tingkatkan kesadaran kolektif. Jangan diam jika menemukan indikasi kekerasan terhadap anak. Laporkan, dampingi, dan dukung korban. Karena setiap detik yang terbuang adalah waktu di mana sebuah nyawa semakin rusak.
Dan kepada pemerintah, sudah saatnya menyadari bahwa politik boleh dinamis, tetapi perlindungan anak adalah harga mati. Jangan biarkan masa depan bangsa porak-poranda hanya karena kita terlalu asyik bermain dalam arena politik sesaat.
Anak-anak adalah investasi terbesar bangsa. Jika hari ini mereka dibiarkan menjadi korban, maka esok negeri ini akan kehilangan generasi penerusnya. Mari kita lindungi mereka, bersama dan sekarang.
Editorial ini merupakan bentuk keprihatinan mendalam sekaligus seruan moral bagi semua pihak — baik pemerintah, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, maupun warga — untuk tidak lagi tinggal diam terhadap kejahatan seksual terhadap anak. Ini adalah panggilan nurani untuk bertindak, bukan hanya berbicara. (Redaksi)