Tapaktuan – Dukungan publik mengalir untuk langkah tegas Bupati Aceh Selatan, H. Mirwan MS, yang memutuskan tidak memperpanjang masa jabatan Baiman Fadhli sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Aceh Selatan. Enam bulan menjabat, Baiman dinilai gagal menjalankan amanah dan tidak mampu membawa perubahan berarti pada perusahaan daerah yang kini justru terjebak dalam stagnasi.
Koordinator Gerakan Muda Peduli Aceh (GeMPA), Ariyanda Ramadhan, S.Sos menyebut kinerja bekas Plt Direktur BUMD tersebut tidak mencerminkan semangat pembaruan yang diharapkan masyarakat. “Sejak enam bulan lalu ditunjuk, tidak ada langkah konkret yang terlihat. Transformasi dari PD Fajar Harapan menjadi Perseroda PT Arah Maju Produktif (PT AMP) seolah berjalan di tempat, dan tak lebih daei menindaklanjuti apa yang sudah dibuat oleh pendahulunya tanpa ada inovasi yang berarti untuk kebaikan daerah,” ujar Ariyanda Ramadhan, S.Sos, Senin 10 November 2025.
Ia menyoroti bahwa hingga kini, BUMD belum memiliki dasar hukum untuk beroperasi. “Tak ada Peraturan Bupati, tak ada akta notaris, dan belum ada pengesahan dari Kemenkumham. Padahal, Qanun sudah disahkan sejak dua bulan lalu, namun khabarnya belum menjadi lembaran daerah. Namun eksekusi teknis yang seharusnya menjadi tugas Plt Direktur juga tak kunjung dilakukan hingga akhir masa SK Pelaksana Tugas(Plt),” kata Ariyanda.
Menurutnya, publik Aceh Selatan menaruh harapan besar terhadap perubahan status BUMD menjadi Perseroda untuk memperkuat kemandirian ekonomi dan menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, harapan itu kandas karena terkesan manajemennya yang lemah dan minim koordinasi. “Plt Direktur seolah berjalan sendiri tanpa komunikasi aktif multi pihak terkait. Bahkan informasi perkembangan selama ini nyaris pun tak pernah terdengar di publik,” ujarnya.
Sikap lamban ini, lanjutnya, bukan hanya masalah administrasi, tapi juga soal tanggung jawab publik. “Ketika pejabat diberi amanah tapi gagal menindaklanjutinya, itu berarti ia telah mengabaikan kepercayaan masyarakat,” tegasnya.
Ariyanda menilai keputusan Bupati Mirwan MS untuk tidak memperpanjang masa jabatan Plt Direktur sebagai langkah berani dan tepat. “Bupati menunjukkan integritasnya. Jabatan publik bukan tempat berlindung bagi mereka yang gagal menjalankan amanah, meski berasal dari lingkaran sendiri. Kalau enam bulan tidak bisa menunjukkan hasil, wajar jika diganti,” katanya.
Ia menyebut keputusan itu sebagai sinyal kuat adanya komitmen pemerintah daerah dalam membenahi tata kelola BUMD. “Langkah ini bukan soal mengganti orang, tapi soal memulihkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Bupati harus menempatkan sosok profesional yang punya integritas, kemampuan manajerial, dan jaringan bisnis yang baik,” tambahnya.
Ariyanda juga mendesak Pemkab Aceh Selatan segera membentuk tim percepatan penyelesaian regulasi dan legalisasi Perseroda, dengan melibatkan Bagian Ekonomi, Bagian Hukum, Asisten II, serta Komisi II DPRK Aceh Selatan dan pihak lainnya terkait. “Jangan biarkan proses ini terus tersendat. Jika dibiarkan berlarut, publik akan menganggap ada motif politik di balik kelambatan ini,” katanya.
Ia menilai kasus ini mencerminkan persoalan klasik BUMD di banyak daerah yakni lemahnya kepemimpinan transisi, komunikasi yang buruk, dan orientasi jabatan yang lebih administratif ketimbang produktif. “BUMD seharusnya dikelola dengan semangat korporasi, bukan birokrasi. Ketika yang memimpin tidak punya kapasitas manajerial, maka seluruh sistem ikut lumpuh,” ujarnya.
Sebagai perbandingan, ia mencontohkan Aceh Barat dan Bener Meriah yang mampu menuntaskan seluruh proses perubahan BUMD menjadi Perseroda hanya dalam waktu tiga bulan. “Di sana, semua diselesaikan cepat bahkan clear Perbup hingga akta pendiriannya. Jadi kalau di Aceh Selatan enam bulan tidak bergerak, itu bukan sistemnya yang salah, tapi orang yang memikulnya tak tepat,” tegas Ariyanda.
Menurutnya, keputusan untuk tidak memperpanjang jabatan Plt Direktur bukanlah persoalan personal, melainkan konsekuensi logis dari kinerja yang tidak memenuhi ekspektasi publik. “Kalau tidak mampu melaksanakan tugas, maka harus diganti. Ini soal masa depan ekonomi daerah, bukan soal menjaga posisi seseorang,” ujarnya.
Ia pun mendesak agar pengisian jabatan Direktur BUMD ke depan dilakukan secara terbuka dan profesional, bukan berdasarkan kedekatan politik. “Cukup sudah praktik asal tunjuk. Kita butuh pemimpin yang mampu bekerja dengan target dan memahami bisnis, bukan sekadar pelengkap jabatan,” katanya.
Ia juga mengaku prihatin dengan dalih bekas Plt Direktur yang mengaku jabatannya berakhir seiring qanun disahkan, padahal qanun disahkan sudah sekitar dua bulan lalu, sementara jabatan bekas Plt Direktur itu baru berakhir pada 6 november 2025. “Terlepas dalih berakhir otomatis karena qanun sudah disahkan DPRK, atau tidak adanya perpanjangan SK oleh Bupati. Namun faktanya hari ini belum ada Perbup, belum terdaftar di Kemenkumham. Jadi, tugas kepemimpinan transisi hingga 6 bulan itu layak disebut sangat tidak maksimal. Ini yang sangat disayangkan,”ucapnya.
Ariyanda menambahkan, masyarakat sebenarnya tidak mempermasalahkan jika pejabat yang ditunjuk dekat dengan Bupati, asalkan kinerjanya terbukti. “Yang dibutuhkan sekarang adalah hasil nyata, bukan laporan asal bapak senang yang mungkin sering diterima Bupati sebagai pimpinan daerah. Terlepas apa alasan dan dalih pergantian itu, namun pada intinya qanun sudah disahkan sekitar 2 bulan lalu oleh DPRK tapi bari setelah SK Plt berakhir baru ada eks officio, sementara Perbup dan akta pendirian PT AMP masih menggantung, itu fakta yang jelas terlihat dipublikasikan hari ini,” tegasnya.
Ia berharap keputusan Bupati Mirwan menjadi titik balik dalam pembenahan menyeluruh BUMD Aceh Selatan. “Kita berharap Bupati tidak terus terjebak pada lingkaran, sementara yang hanya sibuk membuat laporan tanpa progres nyata. Kalau tidak sekarang dibenahi, kapan lagi Aceh Selatan bisa menata BUMD nya agar benar-benar produktif?” pungkasnya.














































