Aceh Besar , Baranews – Sebuah gebrakan ekonomi hijau lahir dari tangan-tangan ibu rumah tangga di Gampong Lamkeunung, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. Berbekal ampas kopi yang selama ini dibuang sia-sia, mereka mengubahnya menjadi briket ramah lingkungan—Bricket LK Coffee—produk yang kini mulai mencuri perhatian pasar, bahkan menembus luar negeri.
Rabu (31/7/2025), Kanwil Bea Cukai Aceh menyelenggarakan dialog bersama pelaku UMKM Bricket LK Coffee dan para pemangku kepentingan di lokasi produksi Gampong Lamkeunung. Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya konkret Bea Cukai dalam memberikan fasilitasi industri dan mendorong pertumbuhan ekonomi akar rumput.
Bricket LK Coffee bukan sekadar UMKM biasa. Didirikan sebagai bagian dari program pemberdayaan pasca peresmian Lamkeunung sebagai Kampung Bebas dari Narkoba (KBN) ke-25 pada Februari 2025, UMKM ini kini telah mempekerjakan 12 orang—seluruhnya perempuan dari kampung sendiri. Mereka memproduksi briket arang dari limbah kopi dengan metode yang masih manual dan peralatan terbatas. Namun keterbatasan itu tak menyurutkan semangat mereka untuk menghasilkan produk unggulan dengan potensi ekspor.
Dalam waktu kurang dari setahun, produk mereka telah dikirim sebagai sampel ke berbagai wilayah, mulai dari Bali, Abiya, hingga Jeddah dan Dubai melalui jalur diplomatik. Peminat dari luar negeri mulai melirik, karena selain berbahan baku limbah kopi yang ramah lingkungan, produk ini juga mendukung prinsip ekonomi sirkular.
Kepala Bidang Fasilitas Kepabeanan dan Cukai Kanwil Bea Cukai Aceh, Leni Rahmasari, mengatakan bahwa kegiatan ini bukan sekadar dialog formal, tetapi bagian dari komitmen Bea Cukai untuk memfasilitasi pertumbuhan UMKM secara menyeluruh.
“Kami ingin para pelaku usaha kecil tidak merasa sendirian menghadapi tantangan produksi dan pemasaran. Melalui sinergi lintas sektor seperti ini, kami harap UMKM seperti Bricket LK Coffee bisa naik kelas dan menjadi produk unggulan Aceh di pasar global,” tegas Leni.
Dialog tersebut dihadiri oleh berbagai pihak dari unsur pemerintah, akademisi, dan swasta: Universitas Syiah Kuala, Pegadaian, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG), Dinas Koperasi Aceh Besar, DJPB Provinsi Aceh, hingga asosiasi pengelola bank sampah. Mereka tidak datang hanya sebagai tamu, melainkan sebagai mitra yang turut mencarikan solusi bersama.
Universitas Syiah Kuala misalnya, telah memberikan bantuan berupa mesin produksi senilai Rp31 juta guna membantu UMKM meningkatkan kapasitas produksinya. Langkah ini menegaskan pentingnya dukungan riset dan teknologi dalam mengangkat potensi lokal menjadi kekuatan ekonomi baru.
Dalam diskusi terbuka, pelaku UMKM menyampaikan hambatan-hambatan riil yang mereka hadapi: kapasitas mesin terbatas, kesulitan memenuhi permintaan dalam jumlah besar, keterbatasan pengemasan produk, hingga regulasi ekspor yang belum sepenuhnya dipahami.
Namun, alih-alih menjadi keluhan, forum ini justru membuka ruang koordinasi konkret. Pegadaian menawarkan akses permodalan mikro, Dinas Koperasi menjanjikan pendampingan legalitas dan pelatihan pemasaran digital, sementara DJPB memberi edukasi terkait insentif fiskal dan pembiayaan produktif.
Dialog ini memperlihatkan wajah baru pemberdayaan UMKM di Aceh: bukan hanya sebatas pelatihan atau pemberian bantuan, tetapi sebuah ekosistem yang dibangun bersama, berbasis pada potensi lokal, dan diarahkan menuju keberlanjutan.
Di tengah krisis iklim global, model usaha seperti Bricket LK Coffee menjadi simbol bahwa solusi besar bisa lahir dari desa. Mereka tak hanya mengurangi limbah, tapi juga menciptakan peluang kerja, menghidupkan ekonomi perempuan, dan mengangkat citra lokal dalam bingkai inovasi hijau.
Dengan komitmen bersama antara pelaku usaha, pemerintah, akademisi, dan sektor swasta, Gampong Lamkeunung sedang menulis kisah barunya: dari kampung bebas narkoba menjadi kampung ekonomi hijau berorientasi ekspor. Dan semuanya dimulai dari secangkir kopi yang tersisa. (*)