Subulussalam – Ketegangan antara warga dan pemerintah Kota Subulussalam terus memanas menyusul dugaan pembohongan publik oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) terkait pencemaran Sungai Lae Batu Batu. Lembaga yang semestinya menjadi garda depan dalam menjaga kualitas lingkungan hidup itu kini berada dalam sorotan tajam. Pasalnya, DLHK Subulussalam dinilai menyampaikan informasi yang menyesatkan mengenai hasil pengujian kualitas air sungai yang selama ini menjadi sumber penghidupan bagi ribuan warga.
Kecurigaan publik mencuat setelah DLHK Subulussalam mengeluarkan surat resmi yang menyatakan bahwa kualitas air Sungai Lae Batu Batu berada dalam kategori aman dan tidak tercemar. Namun pernyataan tersebut sontak menuai penolakan luas dari masyarakat Kampong Nelayan Batu Batu dan Kecamatan Sultan Daulat. Dalam beberapa minggu terakhir, warga masih menemukan fenomena tak lazim berupa kematian massal ikan di aliran sungai. Air sungai yang keruh dan berbau menyengat membuat warga cemas akan ancaman penyakit serta hilangnya mata pencaharian mereka sebagai nelayan tradisional.
“Kami sangat kecewa. Ini bukan sekadar ketidaktepatan informasi. Ini sudah mengarah ke pembodohan publik. Ada sesuatu yang disembunyikan,” ujar Hasbi Bancin, salah seorang tokoh masyarakat nelayan yang menyuarakan kegelisahan warga.
Konflik semakin memuncak setelah dua media besar di Aceh merilis laporan yang saling bertentangan. Harian Serambi Indonesia, mengutip DLHK, menyebut hasil uji laboratorium menunjukkan air sungai tidak tercemar. Namun, AcehTrend.com membongkar fakta berbeda yang memperlihatkan bahwa pengujian belum selesai. Bahkan, dalam laporan AcehTrend, disebutkan bahwa residu pestisida pada sampel ikan belum diuji sama sekali karena Laboratorium Teknik Pengujian Kualitas Lingkungan (LTPKL) Universitas Syiah Kuala kekurangan bahan kimia untuk menjalankan metode Gas Chromatography Mass Spectroscopy (GCMS).
Fakta tersebut diperkuat dengan adanya surat resmi LTPKL bernomor 011/DTK-USK/LTPKL/2025 yang dikirimkan kepada DLHK Subulussalam. Dalam surat itu dinyatakan secara tegas bahwa uji laboratorium belum dilakukan secara menyeluruh, terutama terhadap dugaan pencemaran dari aktivitas industri PT MSB II. Dengan demikian, pernyataan DLHK yang mengklaim air sungai aman dinilai tidak berdasar dan belum melalui proses ilmiah yang tuntas.
Warga menilai bahwa DLHK telah melangkahi prinsip kehati-hatian dan transparansi publik. “Kalau pengujian belum tuntas, kenapa buru-buru menyatakan sungai tidak tercemar? Ini sangat mencurigakan. Jangan-jangan ada tekanan dari pihak tertentu,” ujar seorang warga dalam forum diskusi lingkungan yang digelar secara swadaya.
Desakan pun mengalir ke Wali Kota Subulussalam, H. Rasid Bancin. Masyarakat menuntut agar Kepala DLHK segera dinonaktifkan demi menjamin integritas dan objektivitas proses penyelidikan lanjutan. Mereka khawatir jika kepala dinas tersebut tetap menjabat, maka proses investigasi terhadap dugaan pencemaran dan keterlibatan industri akan tersandera oleh konflik kepentingan.
Tak hanya dari warga, sejumlah aktivis lingkungan juga angkat bicara. Mereka mengutuk keras tindakan DLHK yang dinilai gegabah dan merusak kepercayaan publik. Para aktivis meminta Pemerintah Kota Subulussalam segera mengumumkan semua data hasil pengujian secara terbuka dan menyeluruh, termasuk dokumen-dokumen internal yang berkaitan dengan pemantauan sungai.
“Keamanan lingkungan bukan perkara sepele. Ini menyangkut hidup dan mati warga. Kalau informasi dimanipulasi, maka kita semua dalam bahaya,” tegas seorang aktivis lingkungan yang turut mengawal isu tersebut.
Kondisi di lapangan juga semakin memprihatinkan. Nelayan yang biasa menangkap ikan kini terpaksa menghentikan aktivitas mereka. Banyak dari mereka kehilangan penghasilan harian. Warga juga mulai mengeluhkan iritasi kulit dan bau menyengat dari air sungai yang meresap ke lahan-lahan pertanian.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, DLHK Subulussalam belum memberikan klarifikasi lanjutan terkait tudingan manipulasi data dan belum merespons pertanyaan publik seputar surat dari laboratorium Universitas Syiah Kuala. Ketertutupan ini semakin mempertebal kecurigaan publik bahwa ada sesuatu yang tengah disembunyikan dari mereka.
Kini, masyarakat Subulussalam hanya bisa menanti—dengan cemas dan marah—apakah pemerintah akan berpihak pada kebenaran dan rakyat, atau justru tunduk pada tekanan pihak-pihak berkepentingan. Satu hal yang pasti: kebenaran tidak bisa dibungkam terlalu lama. Jika aparat tidak segera bertindak, maka masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri.
Kepercayaan publik sudah mulai runtuh. Dan saat kepercayaan hilang, yang tersisa hanyalah perlawanan.