GAYO LUES — Ratusan warga Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh, sejak Rabu (17/12/2025) dini hari terpaksa mengantre demi mendapatkan gas elpiji di tengah kondisi pemulihan pascabencana yang belum sepenuhnya pulih. Antrean mengular sejak pukul 03.00 WIB di halaman Masjid Raya Blangkejeren, lokasi yang sebelumnya diinformasikan sebagai tempat pendistribusian elpiji bersubsidi. Namun, hingga pukul 16.00 WIB, harapan warga pupus setelah mengetahui bahwa mobil pengangkut gas elpiji menurunkannya di lokasi berbeda.

Informasi yang simpang siur dan ketidakjelasan koordinasi antara pihak distribusi, aparat, dan pemerintah daerah membuat masyarakat kecewa. Sebagian dari mereka, terutama para ibu rumah tangga, menahan lapar selama berjam-jam, berharap distribusi berjalan sesuai janji. Namun realitas di lapangan berkata lain. Gas elpiji yang seharusnya diturunkan di sekitar Masjid Raya justru dibongkar di kawasan Mangul, sekitar 4 kilometer dari titik yang dijanjikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT

“Sakit hati kami diperlakukan seperti ini. Dari subuh kami di sini, belum makan, belum pulang. Katanya LPG diturunkan di sini, tapi tiba-tiba dipindahkan ke tempat lain tanpa penjelasan,” ujar SR (37), seorang ibu rumah tangga warga Desa Kota Blangkejeren. Ia menggambarkan kepedihannya tidak sekadar karena tidak dapat membeli elpiji, tetapi karena merasa diabaikan oleh para pemimpin daerah. “Enak-enak Bupati makan siang di rumah makan, kami di luar sini menahan lapar. Rumah kami memang tidak terkena banjir, tapi sejak bencana, kami terpaksa masak pakai kayu. Satu masakan bisa dua jam baru matang. Tak adakah empati?” katanya sambil menghapus air mata.

Kekecewaan warga sempat memicu reaksi emosional. Sejumlah ibu-ibu mendatangi salah satu rumah makan di pusat kota karena mengetahui Bupati Gayo Lues sedang bersantap di sana. Meski tidak terjadi kericuhan fisik, nada suara yang naik dan keluhan yang dilontarkan warga tak bisa dibendung.
“Katanya Bupati akan datang ke Masjid Raya setelah Zuhur. Kami tunggu sampai lewat Asar, tidak datang juga,” ujar seorang warga lainnya. “Akhirnya kami pindah berkumpul di Bale Musara, depan Pendopo Bupati, berharap ada yang menjelaskan. Tapi tak satu pun yang muncul. Ini bukan hanya soal elpiji, ini soal kepercayaan yang mulai hilang dari rakyat kepada pemimpinnya.”
Sejumlah warga juga mengungkapkan kekecewaan atas kondisi pemulihan di daerah mereka yang dinilai berlangsung lamban. Pasokan listrik yang tidak stabil, sinyal komunikasi yang terganggu, serta kebutuhan pokok yang belum merata membuat beban pascabencana semakin berat, terutama bagi keluarga dengan anak kecil dan lansia.
Beberapa tokoh masyarakat mengkritik keterlibatan sebagian anggota DPRD yang dinilai hanya aktif saat musim kampanye, namun pasif dalam merespons krisis seperti sekarang. “Kami tahu siapa yang benar-benar membantu. Ada yang kirim bantuan ke daerah longsor, tapi ambilnya dari bantuan pemerintah. Bukan dari kantong pribadi. Kalau begitu, bukan wakil rakyat namanya,” kata salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Ketegangan mereda setelah sejumlah aparat keamanan menenangkan warga dan menjanjikan akan menelusuri komunikasi antara distributor dan pihak pemerintah daerah. Namun, kejadian ini menyisakan luka bagi banyak warga yang merasa diabaikan di tengah masa sulit. Harapan mereka sederhana: kehadiran pemimpin yang mendengar, hadir saat dibutuhkan, dan tidak sekadar datang saat pesta demokrasi.
Pascabencana banjir dan longsor yang melanda sebagian wilayah Gayo Lues, kebutuhan dasar seperti listrik, air bersih, bahan bakar, serta akses komunikasi menjadi prioritas utama pemulihan. Namun, tanpa koordinasi yang tepat antar instansi, potensi gesekan sosial seperti yang terjadi di Blangkejeren dapat terus terulang.
Warga berharap agar kejadian seperti ini tidak lagi terjadi. Mereka meminta kepastian, bukan sekadar janji, dalam setiap langkah pemulihan dari bencana. (J.Porang)







































