Jakarta – Media sosial kembali dihebohkan dengan video yang memperlihatkan perjuangan para guru di pelosok Indonesia. Kali ini datang dari Desa Limbur Merangin, Kabupaten Merangin, Jambi. Dalam video yang viral tersebut, sejumlah guru SD Negeri 117 terlihat menyeberangi jembatan gantung yang rusak parah. Lantai papan jembatan banyak yang sudah hilang dan hanya menyisakan seutas tali sebagai pijakan untuk kaki. Di bawah jembatan itu mengalir sungai berwarna coklat keruh, memperlihatkan betapa besar risiko yang mereka hadapi setiap hari hanya untuk menuju sekolah.
Para guru yang mengenakan seragam putih dan membawa tas ransel besar itu tampak berjalan dengan hati-hati. Sebagian harus melepas alas kaki demi menjaga keseimbangan, sambil berpegangan erat pada kawat baja penyangga jembatan. Video ini menuai empati sekaligus amarah dari masyarakat. Banyak yang mempertanyakan perhatian pemerintah daerah terhadap akses dan keselamatan bagi tenaga pendidik serta pelajar di wilayah terpencil.
Namun, perkembangan setelah video ini viral justru menimbulkan pertanyaan baru. Beberapa hari setelah ramai diperbincangkan publik, para guru yang terekam dalam video tersebut menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Dalam pernyataan yang juga beredar di media sosial, seorang guru bernama Risma mengatakan bahwa mereka tidak memiliki niat untuk menyudutkan pihak mana pun. Ia menekankan bahwa video itu dibuat hanya untuk dokumentasi pribadi.
“Kami di sini selaku guru SDN 117 Limbur Merangin sekali lagi meminta maaf kepada pihak desa maupun pihak Kabupaten Merangin, baik kepada Bapak Bupati maupun Bapak Gubernur. Ini sama sekali tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan,” ujar Risma, seperti dikutip dari detikSumbagsel, Rabu (21/5/2025). Ia menambahkan bahwa jembatan tersebut sebenarnya sedang dalam proses perbaikan saat video diambil.
Pernyataan ini justru kembali memantik diskusi di kalangan publik. Banyak yang menduga bahwa para guru mendapat tekanan setelah video mereka viral. Kekhawatiran muncul bahwa alih-alih mendapat perhatian dan solusi, mereka justru terpaksa membuat pernyataan maaf demi meredam kegaduhan.
Bupati Merangin, M. Syukur, menanggapi permintaan maaf tersebut dengan mengatakan bahwa hal itu wajar. Menurutnya, mungkin saja para guru merasa kondisi di lapangan tidak sepenuhnya sesuai dengan narasi pemberitaan yang berkembang di media sosial. “Minta maaf karena mereka mungkin merasa kejadian di lapangan dengan pemberitaan itu beda, mungkin mereka merasa nggak enak,” kata Syukur.
Peristiwa ini kembali membuka sorotan tajam terhadap kondisi infrastruktur pendidikan di wilayah terpencil. Hingga hari ini, masih banyak wilayah di Indonesia yang belum memiliki akses jalan dan jembatan layak. Dalam banyak kasus, guru dan murid harus menempuh perjalanan panjang, berbahaya, dan tidak manusiawi hanya untuk bisa mengakses hak dasar pendidikan.
Para guru seperti Risma dan rekan-rekannya adalah simbol dari dedikasi luar biasa. Di tengah keterbatasan dan risiko besar, mereka tetap menjalankan tugas mengajar demi masa depan anak-anak di daerah mereka. Namun di saat yang sama, perjuangan mereka seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah bahwa sistem belum berjalan adil bagi semua wilayah.
Yang menambah ironi adalah, saat suara mereka akhirnya terdengar dan mendapat perhatian luas, mereka justru merasa perlu meminta maaf. Bukan karena kesalahan, tetapi karena dokumentasi perjuangan mereka menimbulkan kegaduhan yang tak diinginkan. Hal ini memunculkan kekhawatiran akan adanya pembungkaman narasi dari bawah, yang selama ini menjadi satu-satunya jendela bagi publik untuk melihat kondisi nyata di lapangan.
Apakah permintaan maaf itu murni karena kesadaran atau karena tekanan, hanya para guru yang tahu. Tapi jelas, dokumentasi itu telah membuka mata publik terhadap persoalan yang lebih besar: bahwa pembangunan belum merata, bahwa akses pendidikan masih menjadi perjuangan penuh risiko, dan bahwa suara dari pelosok belum tentu bisa disuarakan tanpa konsekuensi.
Video ini bukan hanya tentang jembatan rusak. Ini tentang ketimpangan, tentang suara yang mungkin dibungkam, dan tentang bagaimana negara seharusnya hadir bukan hanya ketika viral, tetapi setiap hari, setiap waktu, terutama untuk mereka yang berada di garis terdepan pendidikan bangsa. (*)