BARANEWS | Candi bukan hanya saksi bisu sejarah. Ia kini menjadi korban, bahkan pemantik perang. Di perbatasan antara Thailand dan Kamboja, dua situs suci warisan peradaban Hindu era Kekaisaran Khmer kembali menjadi titik nyala konflik bersenjata antarnegara.
Konflik yang bermula dari sengketa kepemilikan candi suci itu kembali memanas pada Juli 2025, memicu gelombang kekerasan yang tak hanya mengorbankan prajurit, tapi juga warga sipil, situs budaya, dan kredibilitas diplomasi dua negara Asia Tenggara tersebut.
Ketegangan kali ini berakar dari dua candi utama: Preah Vihear dan Ta Moan Thom. Keduanya dibangun pada abad ke-11, terletak di sepanjang Pegunungan Dangrek yang membentang di perbatasan Thailand-Kamboja. Sebagai warisan budaya sekaligus simbol identitas sejarah, kedua negara sama-sama mengklaim hak atas situs tersebut. Namun klaim yang bertumpu pada sejarah dan peta kolonial itu, dalam realitasnya, berubah menjadi saling tembak dan saling tuding.
Mahkamah Internasional (ICJ) pada 1962 pernah memutuskan bahwa Candi Preah Vihear masuk dalam wilayah kedaulatan Kamboja. Tetapi hingga kini, Thailand belum sepenuhnya mengakui putusan itu. Ketegangan sempat mereda, hingga pada 2008, Kamboja secara sepihak mendaftarkan Preah Vihear ke UNESCO sebagai situs warisan dunia. Langkah ini menyulut kembali bara lama.
Ketegangan memuncak pada Kamis, 24 Juli 2025, ketika militer Thailand melancarkan serangan udara ke kawasan Preah Vihear. Enam jet tempur F-16 dikirim dari Pangkalan Udara Ubon Ratchathani. Kementerian Kebudayaan Kamboja menyebut serangan itu menyebabkan kerusakan signifikan pada candi, dan menyebutnya sebagai “bencana budaya” dan “tragedi moral”.
Tak hanya berhenti di Preah Vihear, kekerasan meluas ke wilayah sekitar Candi Ta Moan Thom, yang terletak di perbatasan Provinsi Oddar Meanchey (Kamboja) dan Surin (Thailand). Kompleks ini mencakup dua candi kecil lain—Ta Moan Toch dan Takrape—yang juga tak luput dari ketegangan. Pasukan dari kedua negara dilaporkan saling melepaskan tembakan di enam titik perbatasan.
Akibat bentrokan itu, Pemerintah Thailand melaporkan lebih dari 100.000 warga sipil di wilayah perbatasan terpaksa mengungsi. Setidaknya 16 orang tewas, terdiri dari 14 warga sipil dan 2 prajurit. Artileri, roket, hingga sistem anti-udara dikabarkan dikerahkan oleh kedua pihak.
Meski situasi terpantau memburuk, sejumlah analis meyakini bahwa konflik ini masih bisa dibatasi. Sebastian Strangio, jurnalis dan analis politik Asia Tenggara, menyebut bahwa kedua negara menunjukkan tanda-tanda penahanan diri, meski titik ledak sangat rentan. “Thailand saat ini membatasi serangan hanya pada target-target militer, namun jika situasi memburuk, mereka punya keunggulan dominasi dan bisa memenangkan perang dalam skala besar,” ujar Strangio dalam pernyataan yang dikutip media internasional.
Sengketa ini kembali memperlihatkan betapa warisan budaya bisa menjadi titik gesekan, bukan sekadar karena nilai sejarahnya, tetapi karena ia menyimpan makna simbolik, politik, bahkan nasionalisme. Apa yang dahulu dibangun untuk memuliakan dewa, kini menjadi tempat manusia mengumbar murka. Preah Vihear dan Ta Moan Thom bukan lagi sekadar candi; mereka telah berubah menjadi garis depan identitas dan kedaulatan.
Ketika situs budaya menjadi sasaran roket dan jet tempur, yang retak bukan hanya batu dan relief—tetapi juga tatanan damai kawasan. Dan ketika diplomasi gagal menjaga warisan sejarah, maka yang ditinggalkan adalah puing-puing kebesaran masa lalu yang tak lagi dapat diperbaiki. (*)