Banda Aceh, 20 Oktober 2025 — Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Cabang Aceh Selatan menyampaikan protes keras terhadap Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Selatan, Salmi, SE. Aksi ini dipicu oleh dugaan pemecatan sepihak terhadap salah seorang ustadz di Madrasah Ulumul Qur’an (MUQ) Aceh Selatan, yang oleh pihak SEMMI dinilai sebagai bentuk arogansi dan penyalahgunaan wewenang. Ketua Umum SEMMI Aceh Selatan, Heriadi, dalam pernyataan resminya mendesak Bupati Aceh Selatan agar segera mencopot Salmi dari jabatannya karena dianggap tak layak memimpin institusi pendidikan dayah.
Menurut Heriadi, pemecatan terhadap Ustadz Andri, salah satu pengajar di MUQ Aceh Selatan, terjadi tanpa proses yang transparan dan adil. Peristiwa ini bermula dari insiden penyitaan telepon genggam milik seorang santri oleh Ustadz Andri. Santri tersebut diketahui merupakan anak kandung dari Plt Kepala Dinas Pendidikan Dayah. “Dari informasi yang kami terima, guru hanya menjalankan tugasnya dalam menegakkan disiplin di lingkungan dayah. Tapi karena HP milik anak pejabat disita, guru tersebut langsung diberhentikan,” ujar Heriadi.
Peristiwa ini kemudian berkembang saat Dinas Pendidikan Dayah mengeluarkan pernyataan bahwa pemberhentian dilakukan karena Ustadz Andri diduga melakukan pelanggaran berat, yakni mendorong santri hingga mengalami cedera dan mengucapkan kata-kata kasar. Namun pihak pesantren membantah tuduhan tersebut. Mereka menyatakan bahwa insiden itu tidak disengaja dan telah diselesaikan secara internal sesuai dengan etika dan tata tertib lembaga. “Tidak ada unsur kesengajaan. Tapi tuduhan dibuat seolah-olah guru itu bertindak kasar. Ini sangat merugikan nama baik pesantren dan pribadi seorang pendidik,” lanjut Heriadi.
SEMMI menilai bahwa tindakan Salmi sebagai Plt Kadis tidak mencerminkan sikap seorang pemimpin yang bijak. Justru, kata Heriadi, tindakan tersebut memperlihatkan bentuk intervensi pribadi dalam urusan kelembagaan. “Seorang kepala dinas seharusnya mendukung penegakan disiplin di pesantren, bukan justru melemahkan wewenang guru hanya karena kepentingan keluarganya. Ini bentuk pelecehan terhadap otoritas lembaga pendidikan,” tegasnya.
Heriadi juga mengungkapkan bahwa dalam Surat Keputusan pemecatan Ustadz Andri, nama komite sekolah disebut-sebut seolah telah menyetujui keputusan tersebut. Namun, pihak komite mengaku tidak pernah diajak rapat ataupun dilibatkan dalam proses pemberhentian. “Ini jelas pembohongan publik. Nama komite dicatut untuk melegitimasi keputusan yang sejatinya sepihak. Kami melihat ini sebagai tindakan manipulatif yang sangat berbahaya dilakukan oleh seorang pejabat publik,” terangnya.
Atas dasar itu, SEMMI Aceh Selatan melayangkan dua tuntutan serius kepada Bupati Aceh Selatan. Pertama, SEMMI mendesak agar Salmi SE segera dicopot dari jabatannya sebagai Plt Kepala Dinas Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Selatan karena dianggap telah menyalahgunakan jabatan, bersifat arogan, dan tidak mencerminkan netralitas seorang pejabat publik. Kedua, SEMMI juga mendesak dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap seluruh jajaran di Dinas Pendidikan Dayah untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.
“Kita mendukung sepenuhnya visi dan misi Bupati Aceh Selatan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, berintegritas, dan profesional. Tapi tindakan Plt Kadis ini jelas bertolak belakang dengan semangat reformasi birokrasi. Kalau tindakan semacam ini dibiarkan, maka rusaklah masa depan pendidikan dayah,” kata Heriadi.
Ia juga menegaskan bahwa SEMMI Aceh Selatan akan terus mengawal kasus ini sampai ada kejelasan dan keadilan ditegakkan. Jika tuntutan mereka tidak diindahkan, SEMMI tak menutup kemungkinan akan menggelar aksi unjuk rasa dalam skala besar sebagai bentuk protes mahasiswa terhadap kebijakan yang dianggap sewenang-wenang.
Heriadi berharap Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan, khususnya Bupati, dapat segera menyikapi permasalahan ini dengan arif dan terbuka. Menurutnya, masalah ini bukan sekadar soal satu guru, tetapi menyangkut marwah pendidikan dayah secara keseluruhan. “Ini ujian bagi komitmen pemerintah daerah dalam menjaga etika, moral, dan profesionalisme di lembaga pendidikan kita.” tutupnya. (*)